Minggu, 26 Oktober 2014

ARGUMEN INTEGRITAS AL-QUR’AN HOSSEIN MODARRESSI





(Kajian Al-Qur’an Orientalis)


A.    PENDAHULUAN
Orisinilitas serta integritas al-Qur’an merupakan salah satu tema besar yang cenderung diminati oleh Orientalis terhadap dunia Islam. Kesenjangan antara masa turunnya wahyu yang diberikan kepada Muhammad dengan masa kodifikasi wahyu menjadi satu kesatuan utuh yang terpaut cukup lama, memunculkan pemahaman yang problematis. Tidak hanya menyisakan keraguan tentang lamanya selisih waktu, namun juga adanya masalah internal Islam yang tentunya mempengaruhi proses kodifikasi tersebut.
Melalui Laporan singkat ini Modarressi mencoba mencari petunjuk tentang integritas dan otentifikasi al-Qur an dari perdebatan awal dua sekte besar Islam, Sunni dan Syiah. Perselisihan antara dua kelompok besar Islam ini mulanya mempermasalahkan tentang kesesuaian jumlah (ayat dan surah) antara al-Qur’an yang telah diwayahyukan kepada Muhammad dengan al-Qur’an kodifikasi Khalifah Usman.
“The  central   issue  in these  debates was whether   the  ‘Uthmanic   text  comprehended    the  entire  body  of material   that   was  revealed   to  the  Prophet,    or whether   there   had been   further    material     that    was   missing    from   the   ‘Uthmanic text.”[1]

B.     PEMBAHASAN
1  Kodifikasi Al-Qur’an
al-Qur’an maupun hadis menceritakan bahwa selama hidupnya, khususnya ketika setelah hijrah ke Madinah, Muhammad mengajarkan kitab suci sebagai wahyu sekaligus pedoman bagi umat Islam. Ia juga menyuruh para penulis wahyu untuk menambahkan ayat-ayat baru ke dalam teks-teks suci yang turun sebelumnya.[2] Al-Qur’an juga menceritakan bahwa terdapat beberapa wahyu yang tidak dimasukkan dalam kitab suci ini. Hal ini tertulis dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa ada ayat al-Qur’an yang dihapus (nusikha).[3] Atau dengan kata lain wahyu tersebut diganti  oleh Tuhan dengan wahyu yang lain.[4] Orang-orang muslim awal dikabarkan sering mencari-cari beberapa ayat yang tidak ditemukan dalam catatan wahyu yang baru. Pada akhirnya mereka menyadari bahwa ayat tersebut dilarang oleh nabi, kemudian menamainya dengan apa yang disebut dengan sesatu yang “dihapus” (nusikha), “diangkat” (rufi’a), dan “dibuang” (usqita).[5] Konsep naskh al-Qur’an ini pada gilirannya akan mengarah suatu asumsi bahwa terdapat ayat yang tidak dimasukkan oleh nabi ke dalam al-Qur’an. 

Minggu, 10 November 2013

Mengenal Hermeneutika Hasan Hanafi

TAWARAN HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI

Metode penafsiran klasik yang hanya bertumpu pada teks bagi Hanafi memiliki kelemahan, diantaranya adalah terdapat kesenjangan antara realitas dan teks.[1] Produk yang dihasilkan dari metode penafsiran klasik dinilai sering tidak mengena dengan kondisi relealitas umat. Kegelelisahan ini menuntun Hanafi mengajukan materi baru yang ia sebut “hermeneutika sosial” atau ‘metode tafsir tematik”. Dengan metode ini, penafsir dapat menginduksi makna realitas ke teks. Karena bagi Hanafi, penafsiran  teks adalah penyesuaian antara kepentingan dengan teks, subjek dengan objek. Makna yang berupa kepentingan, maksud dan keinginan muncul pertama kali, kemudian diperoleh kesuaiannya dalam teks dan dipadukan sebagai penafsiran yang benar.[2]
  • Bangunan Hermeneutika
 
Hanafi membangun sebuah metode Hermeneutika dengan mengusung kolaborasi antara disiplin keilmuan dari khazanah Islam klasik dan tradisi intelekual barat. Yaitu Ushul al-Fiqh, Hermeneutika, fenomenologi, dan Marxisme.
Keterkaitan Ushul al-Fiqh terutama konsep Asbab an-Nuzul, nasikh-mansukh, dan mashlahah sebagai piranti hermeneutika, adalah untuk menunjukkan betapa pentingnya relasi wahyu dan realitas. Asbab an-Nuzul oleh Hanafi dimaksudkan untuk menunjukkan supremasi realitas terhadap wahyu, ia berpendapat bahwa tidak ada ayat atau surat yang tanpa didahului latar belakang pewahyuan. Sekalipun latar belakang ini harus dipahami dalam pengertian yang luas, yang bisa berupa kondisi, peristiwa, atau lingkungan di dalamnya sebuah ayat diturunkan; nasikh-mansukh menunjukkan gradualisme dalam penetapan aturan hukum, eksistensi wahyu dalam waktu, peruahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselaransannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah.[3]
Sementara konsep mashlahah merujuk pada pentingnya tujuan wahyu sebagai peristiwa dalam sejarah. Menurut Hanafi, manusia mampu memahami peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan lahirnya wahyu atau dalam peristiwa di mana wahyu menjadi signifikan dan secara bersamaan disepakati masyarakat (ijma’) sebagai kepentingan bersama (mashlahah).[4]

Minggu, 03 Februari 2013

Klasifikasi Muhkam dan Mutasyabih

      Ilmu muhkam dan mutasyabih sebagai perangkat analisis penafsiran al-Qur’an mempunyai banyak variasi tentang makna istilah kedua term ini. Namun, dari berbagai variasi tersebut setidaknya dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu teori isi, teori pengalaman dan teori pemahaman (Sebagaimana keterangan Dr. Hamim Ilyas dalam kuliahnya pada program studi al-Quran dan Hadis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. )*.



a. Teori Isi 
Teori isi berarti memahami muhkan dan mutasyabih merujuk pada isi al-Quran. Dalam teori isi ini ada tiga pendapat yang perlu diketahui, yaitu: 

Selasa, 03 Juli 2012

Spirit Revolusi Al-Qur’an


Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban islam adalah peradaban teks. Ini bukan berate sebuah ‘teks’ dengan sendirinya melahirkan peradaban, namun ia lebih menjurus ke dialektika antara teks dengan realita yang hidup (al-Waqi’ al-Ma’asy). Sebuah dialektika yang mampu merubah tata moral-sosial secara menyeluruh sampai pada aspeknya yang paling dalam. Hanya dalam kurun waktu 2 dekade al-Qur’an mampu merubah moralitas bangsa Arab-jahily. Sebuah masyarakat yang menggunakan hukum rimba sebagai tolak ukur, yang kuat meraja dan yang lemah merana. Sungguh merupakan revolusi sosial yang sangat cepat dan tepat.

Kondisi masyarakat arab era jahily memang sudah melenceng jauh dari sifat manusiawi. saling bunuh merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan terhadap anaknya sendiri. Sejarah merekam ketika seorang ibu melahirkan anak perempuan, tanpa pikir panjang dikubur bayi perempuan tak berdosa itu. Sebab melahirkan anak perempuan dianggap sebagai aib yang sangat memalukan bagi bangsa petarung seperti mereka.

Namun justru dari masyarakat yang amoral itulah Nabi Muhammad saw dilahirkan, al-Qur’an sebagai  kitab hidayah diturunkan. Tidak lain untuk mengemban misi membenahi moral manusia (li utammima makarim al-Akhlaq), Sebuah upaya revolusionis atas kondisi moral-sosial yang ada.

Minggu, 01 Juli 2012

Memuliakan Tetangga


Kajian Hadits tentang  Memuliakan Tetangga


Defenisi

Kata Al Jaar (tetangga) dalam bahasa Arab berarti orang yang bersebelahan denganmu. Ibnu Mandzur berkata: “الجِوَار , الْمُجَاوَرَة dan الْجَارُ bermakna orang yang bersebelahan. Bentuk pluralnya أَجْوَارٌ , جِيْرَةٌ dan جِيْرَانٌ .”.
Sedang secara istilah syar’i bermakna orang yang bersebelahan secara syar’i baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan kerabat atau bukan.
Batasan tetangga yang mu’tabar adalah empat puluh rumah dari semua arah. Hal ini disampaikan oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha, Az Zuhri dan Al Auzaa’i.