Ajo tidak punya sepatu. Kepalanya dicukur gundul supaya tidak ada kutunya. Hidungnya ingusan. Pakaiannya using. Setiap pagi, ia selalu berkelahi dengan saudara-saudaranya, berebut seragam sekolah. Bila menang, ia ke sekolah memakai baju seragam. Bila kalah, ia telanjang dada.
Ajo berumur delapan tahun. Ia tidak sabar untuk tumbuh dewasa. Ia ingin menjadi tentara. Pergi bertugas ke tempat-tempat yang jauh. Ajo sangat suka berkelana. Ia sering bolos sekolah untuk menjelajahi sungai-sungai dan bukit-bukit yang banyak terdapat di desa kami.
Ajo bilang, aku sahabatnya.
‘Mengapa kau menganggapku demikian ?’ tanyaku heran.
Ajo bilang, karena aku baik hati. Aku sering memberikan bekal makan siangku kepadanya. Sebenarnya, aku tidak sebaik itu. Setiap hari Ibu membuatkanku bekal makan siang yang berbeda. Kalau aku tak suka bekalku, kuberikan saja pada Ajo. Namun kalau aku suka, Ajo tidak kubagi. Aku jadi tidak enak karena Ajo menganggapku sahabat yang baik.
Aku menatap bolpoin logam kesayanganku, hadiah dari Ayah. Aku selalu menulis cerpen, pelajaran dan catatan harianku dengan bolpoin tersebut. Kuberikan bolpoint itu kepada Ajo, sebagai tanda persahabatan.
‘Tapi ini bolpint kesayanganmu !’ kata Ajo. ‘Aku tidak bisa menerimanya.‘
‘Kalau kau tidak mau, berarti kau bukan sahabtku,‘ kataku.
Maka Ajo pun bersedia menerimanya.
Ada empat belas bukit di desaku. Ajo telah mendaki dua belas diantaranya. Kini Ajo hendak mendaki bukit yang ke tiga belas. Biasanya dia mendaki seorang diri. Namun kali ini ia mengajakku.
‘Aku tidak mau bolos sekolah,‘ tolakku.
‘Kita akan mendaki hari Minggu.‘
‘Tiga belas adalah angka sial.‘
‘Kau anak pintar,‘ kata Ajo, ‘Kenapa masih percaya tahayul?‘
Aku menatap Ajo. ‘Bagaimana aku bisa mendaki bukit dengan keadaan seperti ini?‘
tanyaku sedih. Aku sakit dan tidak mampu lagi berjalan. Aku harus memakai kursi roda.
‘Aku akan menggendongmu,‘ kata Ajo. ‘Sampai ke puncak!‘.
‘Ayah dan Ibuku tidak akan mengijinkan,‘ kataku.
Sungguh di luar dugaan, ternyata kedua orang tuaku mengijinkan aku mendaki bersama Ajo. kami berangkat pada hari Minggu subuh. Ajo bilang, pemandangan di pagi hari lebih indah dari pada siang hari.
Ini adalah pendakian pertamanku. Dan mungkin satu-satunya pendakian yang kulakukan seumur hidupku.
‘Bukit apa yang kita daki ini?‘
‘Gunung Berjo,’ jawab Ajo.
‘Berjo bukan gunung,‘ sanggahku. ‘Tapi bukit.‘
Aku membaca banyak buku tentang gunung. Dengan penuh semangat, kubagi pengetahuanku kepada Ajo, sahabatku. Kuterangkan tentang gunung-gunung terkenal di dunia.
Kuceritakan tentang Danau Toba yang merupakan kawah gunung berapi purba. Kukisahkan tentang letusan gunung Krakatau yang abunya membuat langit mendung setahun lebih.
Sambil menyimak penjelasanku, Ajo terus mendaki. Aku digendongnya di punggung. Ia sangat kuat. Tidak sekalipun ia nampak kepayahan.
Akhirnya, kami tiba di puncak bukit. Ajo menurunkanku. Kami duduk di sebuah batu besar. Ajo benar. Pemandangan disini begitu indah. Matahari baru saja terbit.
Warnanya merah teduh. Cahayanya kuning lembut. Rumah-rumah dan pohon-pohon tampak terbendar keemasan. Udara terasa dingin. Namun, segar dan bersih. Hatiku sangat bahagia. Aku berterima kasih pada Tuhan.
‘Kau menangis!‘ seru Ajo panik. ‘Kau sakit? kau Sakit?‘
‘Tidak, tidak,‘ jawabku menenangkan Ajo. ‘Aku bahagia.‘ Ku tatap sahabatku. ‘Terima Kasih Ajo.‘
Sebulan berlalu sejak hari itu. Kini aku dirawat di rumah sakit. Ini adalah ke empat kalinya aku dirawat disana. Aku ditemani Ibu. Ayah masih dikantor. Untuk mengusir kebosanan, aku menulis cerita. Saat itu, aku dikejutkan oleh bunyi ketukan di jendela kaca. Ternyata Ajo. Ia memanjat jendelaku yang berada di lantai dua. Ibu membuka jendela agar Ajo bisa masuk.
‘Kanapa tidak lewat pintu?’ tanya Ibu.
‘Tidak bolah sama Satpam, Budhe,’ jawab Ajo.
‘Ya jelas tidak boleh,’ kataku, ‘Ini, kan, bukan jam menjenguk pasien.’
‘Pasien itu apa?’
‘Orang sakit yang dirawat di rumah sakit. Seperti aku.’ terangku.
Ibu menyuruh Ajo duduk di kursi di dekatku.
‘Kamu sedang menulis apa?’ Tanya Ajo.
‘Cerita. Saat kita naik bukit dulu.’
‘Sudah selesai ?’
‘Hampir,’ jawabku. ‘Kau yang menyelesaikannya, ya?’
‘Kenapa aku?’
‘Ini adalah cerita kita,’ terangku. ‘Jadi, ini ceritamu juga. Kau harus ikut bercerita…’
Namaku Ajo. Aku punya seorang sahabat. Namanya Hanum. Dia baik sekali padaku. Hanum sakit parah. Sangat parah. Tubuhnya jadi lemah. Lalu dia meninggal dunia.
Aku sedih sekali. Aku kehilangan seorang sahabat. Aku menangis saat pemakamannya. Aku menangis malam harinya. Aku menangis pagi harinya.
Lalu ayah dan ibu Hanum datang ke rumahku. Tapi, itu enam bulan sesudah Hanum meninggal. Jadi, aku tidak lagi menangis. Tapi, aku masih sedih.
Ayah dan Ibu Hanum berbincang-bincang dengan aku dan orang tuaku. Ayah dan ibu Hanum tidak punya anak lagi. Mereka ingin aku jadi anak angkat mereka. Aku bilang, aku mau. Ayah dan ibuku pun membolehkan.
Sekarang aku tinggal di rumah Hanum. Ayah dan ibu Hanum sangat sayang padaku. Aku sangat bahagia.
Inilah akhir dari ceritaku dan cerita Hanum. Aku sangat bahagia. Aku berdo’a, semoga Hanum pun berbahagia di alam sana.
Senin, 28 Desember 2009
Bukit ke Tiga Belas
Oleh Mila Nurhida
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar