Kamis, 10 Desember 2009

Tafsir Al-Qurtubi, AL-JAMI’ LI AHKAM AL-QURAN

PENDAHULUAN


Al-Quran menyebut dirinya sebagai Hudan li al-nas,petunjuk bagi segenap uamt manusia. Akan tetapi petunjuk al-Quran tersebut tidaklah dapat ditangkap maknanya bila tanpa adanya penafsiran. Itulah sebabnya sejak al-Quran diwahyukan hingga dewasa ini gerakan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama tidak pernah ada henti-hnetinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para ulama yang dipersembahkan guna menyingkap dan menguak rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan metode dan sudut pandang berlainan.
Tafsir bisa diartikan dengan al-iddah wa al-tabyin, menjelaskan dan menerangkan, atau lebih lengkapnya adalah suatu ilmu yang dengannya kitab Allah dapat dipahami, mengeluarkan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya. Dapat juga diartikan dengan ilmu yang membahas al-Quran al-Karim dari segi dalalahnya sejalan dengan apa yang dikehendaki Allah, dalam batas kemampuan manusia. Dengan demikan, tafsir secara sederhana dapat dipahami sebagai usaha manusia dalam memahami al-Quran.
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran karya al-Qurtubi, yang dikenal dengan Tafsir al-Qurtubi.

PEMBAHASAN
AL-JAMI’ LI AHKAM AL-QURAN KARYA AL-QURTUBI

A. Biografi Singkat al-Qurtubi
Penulis tafsir al-Qurtubi bernama Abu ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibnfarh al-Anshari al-Khazraji Syamsy al-Din al-Qurtubi al-Maliki. Penulis belum menemukan referensi mengenai tahun kelahirannya, kebanyakan dari para penulis biografis hanya menyebutkan tahun kematiannya yaitu 671 H di kota Maniyya Ibn Hisab Andalusia. Ia dianggap sebagai salah seorang tokoh yang bermazhab Maliki.
Aktifitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu, diantaranya adalah al-Syaikh Abu al-Abbas Ibn ‘Umar al-Qurtubi dan Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri. Beberapa karya penting yang dihasilkan oleh al-Qurtubi adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran, al-Asna fi Syarh Asma Allah al-husna, Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah, Syarh al-Taqassi,Kitab al-Tizkar fi Afdal al-Azkar, Qamh al-Haris bi al-Zuhd wa al-Qana’ah dan Arjuzah Jumi’a Fiha Asma al-Nabi.

B. Kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

1. Pengenalan Umum Kitab Tafsir Qurtubi

Kitab tafsir ini sering disebut dengan tafsir al-Qurtubi, hal ini dapat dipahami karena tafsir ini adalah karya seorang yang mempunyai nisbh nama al-Qurtubi atau bisa juga karena dalam halaman sampul kitabnya sendiri tertulis judul, tafsir al-Qurtubi al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Jadi, tidak sepenuhnya salah apabila seseorang menyebut tafsir ini dengan sebutan tafsir al-Qurtubi bila yang dimaksud adalah tafsir karya al-Qurtubi tersebut. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran wa al Mubayyin lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan yang berarti kitab ini berisi himpunan hukum-hukum al-Quran dan penjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Quran. Dalam muqaddimahnya penamaan kitab ini didahului dengan kalimat Sammaitu….(aku namakan)[1]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa judul tafsir ini adalah asli dari pengarangnya sendiri.

2. Sistematika

Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya kitab tiga sistematika:
Pertama, sitematika Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai surat al-Nas.
Kedua, sitematika Nuzul yaitu dalam menafsirkan al-Quran berdasarkan kronologis turunnya surat-surat al-Quran, contoh mufasir yang memakai sistematika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah dengn tafsirnya yang berjudul al-Tafsir al-Hadits.
Ketiga, sistematika maudlu’I yaitu menfsirkan al-Quran berdasarkan topik-topik tertentu dengan topic tertentu kemudin ditafsirkan.
Al-Qurtubi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, dengan demikian ia memakai sistematika mushafi, yaitu dalam menafsirkan al-Quran sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.[2]

3. Manhaj (metode)

Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat:
Pertama, Metode Tahlili, dimana dengan menggunakan metode ini mufasir-mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertiann yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Quran.
Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain.
Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya.
Keempat, Metode Maudlu’I yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Metode yang dipakai al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min, dan bab tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.[2]

4. Corak Penafsiran

Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu al-Ma’sur, al-Ra’yu, sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi ijtima’i. Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang bercorak Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Fatihah. al-Qurtubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam salat, juga persoalan fatihah makmum ketika shalah Jahr. Terhadap ayat yang sama-sama dari kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas surat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi judul Bab Qiraah al-Fatihah fi al-salah.
Contoh lain dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalana-persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2): 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (٤٣)
“dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”

Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi Imam salat. Di antara tokoh yang mengatakan boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya: [4]
إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا
(anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)
Dalam kasus lain ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ....
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;...”

Ia membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahsan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya. Dengan pernyataannya:
إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام
“Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna”
Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi meggambarkan betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadiakan tafsir ini termsuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurtubi yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat imam mazhabnya.

5. Langkah-langkah penafsiran

Langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Quran dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:
a. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b. Menyebutkan ayat-ayta lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
c. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d. Menolak pendapat yang dianggap tidak ssesuai dengan ajaran Islam.
e. Mendiskusikan pendapat ulaam dengan argumentasi msing-masing, setelah itu melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh al-Qurtubi ini masih meungkin diperluas lagi dengan melakuakan penelitian yang lebih seksama. Satu hal yang sangat menonjol adalah adanya penjelasan panjang lebar mengenai persoalan fiqhiyah merupakan hal yang sangat mudah ditemui dalam tafsir ini.

6. Karakteristik Penafsiran al-Qurtubi

Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini dan perlu untuk dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurtubi dalam muqaddimah tafsirannya yang berbunyi:
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال إلى قائليها والأحاديث إلى مصنفيها فإنه يقال من بركة العلم أن يضاف القول إلى قائله
(Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits kepada pengarangnya, karena dikataan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya)

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari persoalan-pesoalan yang telah diuraikan dalam beberapa bb di atas dapat dicatat bahwa, pertama, Al-Qurtubi pengarang kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran adalah seorang mufasir yang bermazhab Maliki yang hidup di Andalus. Kedua, tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika Mushafi, metode Tahlili dan bercorak fiqhi mazhab Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan mazhabnya. Ketiga, adanya sejumlah keberatan terhadap model penafsiran yang dilakukan oleh ahli hukum, karena terlalu bersifat atomistis dan harfiah sehingga sering mengaburkan program besar al-Quran sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan.

B. Penutup

Demikianlah pembahasan mengenai Tafsir al-Qurtubi ini kami susun, kami menyadari banyaknya kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kritik maupun saran yang membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaan pembahasan ini. Atas segenap perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.





[1] Al-Qurtubi,al-Jami’ li Ahkam al-Quran, I, H 3.
[2] Ibid, I, H 93-131
[3] Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, II h.437. Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, h.514. al-Farmawi, al-Bidayah..., h. 25.
[4] Al-Qurtubi,al-Jami’ li Ahkam al-Quran, I, H 353.
[5] Ibid, II, H. 322
[6] Ibid. I, H. 3

1 komentar: