Jumat, 01 Januari 2010

Cring, Cring, Cring!

OlehMila Nurhida

CRING, CRING, CRING!
Cring, cring, cring! Nona Kei yang cantik melangkahkan kakinya dengan gemulai. Orang-orang menoleh kearahnya dan tersenyum.

Setiap sore Nona kei pasti berjalan-jalan mengelilingi kota kecil itu dengan payungnya yang merah muda. Yang membuat geli, payung itu dihiasai tutup botol dan lonceng-lonceng kecil. Meriah sekali. Bunyinya merdu seirama langkah kaki. Apalagi gaun yang dipakai Nona Kei juga bertumpuk-tumpuk dan warna-warni. Merah, jingga, kuning, hijau, biru dan ungu. Seperti pelangi.

Semua orang di kota kecil itu tahu, Nona Kei memang tidak begitu waras. Dia hidup seorang diri. Keluarganya meninggalkannya sendiri karena malu mempunyai saudara yang sakit jiwa. Akan tetapi, Nona Kei tidak benar-banar hidup sendiri. Karena tidak mengganggu, semua orang iba padanya. Para wanita sering mengiriminya makanan dan pakaian bekas. Laki-laki disana juga membantu membetulkan atap rumahnya yang bocor. Anak-anak apalagi. Setiap sore, meraka pasti mengekor kemanapun Nona Kei berjalan sambil manari-nari mengikuti irama lonceng yang tergantung di payung.

Cring, cring, cring! Nona Kei tidak marah jika diikuti anak-anak. Mereka tidak mengolok-oloknya. Ia bahkan senang ditemani anak-anak. Ia tersenyum ke kanan dan ke kiri. Kepada siapa saja. Dan kepada apa saja yang dilihatnya. Kota kecil itu tak pernah sepi oleh gemerincing payung Nona Kei.

Sudah seminggu ini suara cring, cring, cring! Tak terdengar. “Kemena Nona Kei?” anak-anak bertanya-tanya. Mereka sudah menunggu di pinggir jalan. Yang ditunggu tak juga datang.

Para wanita mendatangi rumah Nona Kei. Kosong! Orang-orang sibuk mencari-cari Nona Kei. Mereka mengira Nona kei hilang.

“Coba kita cari di sekitar hutan,“ ajak Sheriff Albert. Semua mencari kesana. Tapi tak ada.

“Mungkin dia bersembunyi di gudang jemariku. Ia suka memberi makan Heis kudaku,“ kata Pak dan Bu Brown. Sayang, di sana pun tak ditemukan Nona Kei. Semua khawatir terjadi apa-apa pada Nona Kei.

“Saudara-saudara,“ Bapak Walikota mengumpulkan warganya di suatu sore yang cerah.
“Nona Kei tidak di sini lagi. Beberapa waktu yang lalu, salah seorang saudaranya yang kaya raya menemuiku. Ia menjemput Nona kei dan membawanya ke ahli jiwa. Ia berharap Nona Kei sembuh dan hidup normal seperti kita. Jadi itulah alasannya, mengapa Nona Kei tak lagi kelihatan diantara kita.“

Orang-orang berbisik-bisik. Ribut sekali.
“Satu lagi,“ Pak Walikota melanjutkan pidatonya. “Nona Kei meninggalkan payungnya untuk kita.“

Semua orang tertawa mendengarnya. Akhirnya payung itu diambil juga oleh Bu Becky, pemilik toko roti. Payung itu diletakkan di dekat pintu masuk tokonya. Ketika angin bertiup, terdengarlah suara gemerincing.

Cring, cring, cring! Setiap terdengar suara itu, orang-orang pasti teringat akan Nona Kei yang cantik. Tapi semua bersyukur, masih ada saudara Nona Kei yang peduli padanya. Semua berharap semoga suatu saat nanti Nona Kei mengunjungi kota ini. Tentunya dengan kondisi yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar