“Janganlah orang yang beriman mengambil orang kafir sebagai kekasih (wali) dengan meninggalkan orang-orang yang beriman. Barangsiapa yang berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) untuk memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan allah memperingatkan kamu terhadap (azab)-Nya. Dan hanya kepada Allah-lah kembali(mu)”(QS. Ali Imran 28)
Tragedi penyalibanYesus Kristus pada awal tahun masehi dahulu di bukit Gogota, seakan-akan hadir kembali di tengah-tengah jemaat Gereja Protestan (GPIB) maranatha, Jalan Yos Sudarso Surabaya dini hari (9-4-1992). Lewat lakon drama kolosal “Dia yang Bangkit” karya Benny Tomo itu ratusan jemaat dan penonton lain, yang tertarik kepada pertunjukan tersebut, sempat terpaku.
“Drama itu merupakan rangkaian ibadah perayaan Paskah jemaat GPIB Maranatha, yang diawali dengan kisah penangkapan Yesusu dan seterusnya membawa jemaat kembali mengenang cara-cara keji para pemimpin Yahudi yang ingin menyerahkan Yesus kepada penguasa untuk “dihukum mati” (Jawa Pos 20-4-1992).”
Yang menarik dari drama ini, trnyata dari 70 orang pendukungnya, 50% lebih diantaranya bukan beragama Kristen. Dan Sabil Lukito (Islam), sang sutradara, mengatakan: “Kami melihat penampilan drama ini dari sudut teaternya” (Lihat Jawa Pos).
Berita tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan yang perlu kita renungkan, yaitu:
1. Di manakah mutiara iman seorang muslim disembunyikan, saat dia sedang menampakkan diri sebagai Yesus yang dikejar, ditangkap dan disiksa?, dan demikian pula halnya dengan mereka yang memainkan peran pembantu dalam drama tersebut?
2. Bagaimana hukumnya seorang muslim yang melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang bertentangan dengan rukun Iman, misalnya saat dia berperan dalam film, drama radio atau drama-drama lainnya, atau juga ketika menghadapi suatu pengalaman yang sangat pahit dalam hidupnya.
3. Dan bagaimana pula jalan keluarnya, jika seseorang telah berbuat demikian dan belum ada kesepatan atau kemampuan untuk meninggalkannya?
Taqiyah atau Menyembunyikan Iman
Di tengah proses peralihan periode Makkah dan Madinah, pada era permulaan Islam, sebagian besar kaum muslimin telah berhijrah dari Makkah ke Madinah. Jumlah mereka yang turut hijrah saat itu tidak kurang dari 200 orang, sementara itu belum bisa berangkat. Dan setiap hari kaum muslimin yang masih tertinggal di Makkah tersebut selalu berusaha untuk menyusul hijrah ke Madinah, sebagaimana saudara-saudaranya yang telah tiba di Madinah.
Namun di lain pihak kaum musyrikin makin memperketat penjagaannya dan terus menerus mengawasi mereka, serta menangkap dan menyiksa bahkan membunuh mereka yang berusaha menyusul hijrah ke Madinah.
Hal tersebut terjadi pada Arkian, Ammar bin Yasir beserta ayah dan ibunya, yaitu Yasir dan Sumayyah, kemudian pada Shuhaib, bbilal, Khabbab dan Salim yang secara diam-diam berusaha untuk berhijrah. Namun mereka tertangkap dan disiksa diluar perikemanusiaan. Contohnya penyiksaan yang terjadi pada Sumayyah, yaitu di diikat dengan tali yang ditarik dua ekor onta sebelah-menyebelah, lalu lubang kemaluannya ditusuk dengan tombak sehingga mati, dan Yasir pun dibunuh dengan kejam, sehingga kedua orang ini menjadi syahid yang pertama dalam Islam. Adapun ‘Ammar yang saat itu meliha sendiri nasib kedua orang tuanya tidak tahan, sehingga dengan terpaksa dia menuruti perintah orang-orang kafir untuk mengucapkan kata-kata yang menjelekkan Islam dan Rasulullah.
Dan tatkala peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, beliau bertanya kepada ‘Ammar: “Bagaimana hatimu?. ‘Ammar menjawab: “Hatiku penuh dengan Iman”. Maka Rasulullah bersabda: Jika seandainya terjadi lagi, maka ulangilah yang seperti itu.”
Kisah ini kiranya dapat menjadi ukuran dan cermin penilaian bagi kita, yakni bahwa “Ammar terpaksa menguvapkan kata-kata yang bertentangan dengan rukun iman seorang muslim, karena diancam akan dibunih setelah sebelumnya disiksa diluar perikemanusiaan. Namun hati ‘Ammar masih penuh dengan iman dan Islam. Dan juga tercatat serangkaian peristiwa bahwa ada beberapa orang Islam yang murtad akibat penyiksaan tersebut, antara lain: ‘Abdullah bin Abi Sarah, Miqyas, Abdullah bin Khathal dan Qais. Mereka inilah menjadi sebab turunnya surat an-Nahl 106, yaitu bahwa siapa yang kafir setelah beriman, maka dia akan mendapat murka Allah.
Adapun dalam kalangan Syi’ah terdapat suatu ajaran yang disebut dengan Taqiyah, yaitu bila mereka dalam keadaan lemah, maka mereka menyembunyikan kepercayaan Syi’ahnya. Namun bila keadaan mereka telah kuat, maka faham Syi;ah mereka desakkan secara agresif terhadap orang-orang yang tidak berfaham Syi’ah.
Dan hal itu tidaklah tepat karena yang dituju oleh ayat 106 surat al-Nahl tersebut adalah bersiasat dalam menghadapi orang-orang kafir yang mengancam dengan hukuman berat. Atau dengan kata lain, sikap menyembunyikan iman itu dapat dilakukan sebatas dalam kondisi darurat.
Adapun orang yang menyembunyikan iman dalam hati lalu memperlihatkan diri, ucapan atau perbuatan yang tidak bertentangan dengan rukun Iman, sebagaimana seorang muslim yang memperagakan drama dengan mengucapkan bertuhan kepada berhala, dewa atau anak Tuhan, maka terhadap mereka berlaku firman Allah swt.
“Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah beriman (dia akan mendapat murka Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, sedang hatinya tetap tenang dan penuh Iman (maka tidak ada dosa baginya). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kafir, maka murka Allah akan menimpanya dan baginya azab yang sangat berat” (Q.S. al-Nahl 106).
Oleh karena itu seorang pemain atau sutradara yang muslim yang berperan atau sebagai pendukung peran yang berbuat atau berkata-kata secara bertentangan dengan rukun Iman, sedangkan hatinya dalam keadaan tenang dan damai serta tanpa adanya paksaan, maka dia bisa terancam murka Allah dan dapat ditiduh kafir serta akan mendapat azab yang sangat berat fari Tuhan.
Di sini nampak bahwa hukum Islam benar-benar mengandung hikmah yang sangat besar, yaitu pada saat kesempitan maka seseorang memperoleh kesempatan, ketika kondisi terpaksa maka apa yang haram menjadi halal dan yang terlatang menjadi boleh, ketentuan ini disebut dengan hukum “darurat”. Dan ukuran darurat ini letaknya dalam hati seseorang, yang hanya dapat diketahui oleh Allah dan harus diukur dengan ukuran taqwa, sehingga barangsiapa yang taqwanya kuat maka ia tidak akan mempermudah hukum darurat ini, dan siapa saja yang kadar taqwanya rendah maka dia akan sangat mempermudah-nya.
Di samping itu hukum darurat tersebut, dalam surat Ali Imran 28 Allah berfirman:
“Janganlah orang yang beriman mengambil orang kafir sebagai kekasih (wali) dengan meninggalkan orang-orang yang beriman. Barangsiapa yang berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) untuk memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan allah memperingatkan kamu terhadap (azab)-Nya. Dan hanya kepada Allah-lah kembali(mu)”
Konon, saat itu ada bebrapa orang Yahudi, antara lain Ka’ab bin al-Asyraf, Ibn Abi al-Haqiq dan Qais bin Zaid berusaha membujuk orang-orang Anshar untuk murtad. Maka Rifa’ah dan Sa’ad bin Haitsamah memperingatkan mereka agar bersikap hati-hati, jangan sampai terpikat oleh bujukan kaum Yahudi tersebut. Maka tidak lama setelah peristiwa itu turunlah al-Quran surat Ali Imran 28. Jadi kesimpulannya, apabila sikap, ucapan dan perbuatan seseorang bertentangan dengan rukun Iman, tetapi itu dilakuakn hanya sebatas sebagai taktik untuk membela Islam, maka ada kemungkinan dapat mengurangi murka Allah atau tuduhan murtad. Namun hanya Allah sendiri yang Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya atau apa yang telah diperbuatnya.
Semoga kita dapat menepati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan itulah yang disebut taqwa
Kamis, 28 Januari 2010
Hukum Taqiyah dan Menyembunyikan Iman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar