Sabtu, 30 Oktober 2010

Kritik wacana Feminisme I

Akhir-akhir ini sering kita dengar wacana-wacana mengenai feminisme atau sering disebut dengan emansipasi wanita, ini muncul disetiap belahan dunia. Tujuannya adalah menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, serta peniadaan diskriminasi-diskriminasi yang telah berlangsung selama beberapa abad, sejarah telah mencatat betapa dahulu kaum perempuan diperlakukan sangat tidak wajar. Pada zaman zunani kuno disebutkan bahwa para filosof membicarakan apakah perempuan mempunyai ruh atau tidak, jika punya, apakah ruh manusia atau binatang? Bahkan pada abad ke-17 diceritakan dalam masyarakat Hindu (ajaran Manu) menerangkan bahwa istri harus ikut menceburkan diri dalam kobaran api saat mayat suaminya dibakar, jika tidak mau ia harus mencukur rambutnya serta memperburuk penampilannya hingga tidak mungkin diminati oleh laki-laki.
Penindasan-penindasan yang berlangsung sekian lama tersebut membuat alam bahwa sadar manusia berkesimpulan bahwa memang perempuan wajar mendapat perlakuan seperti itu. Bahkan tidak jarang agama juga ikut memberikan legitimasi. Hal ini dengan sendirinya akan memunculkan perlawanan bagi kaum perempuan sendiri hingga muncullah gerakan-gerakan yang bertujuan menuntut kesamaan.


Disadari atau tidak, menurut para feminis, peradaban seperti itu telah mempu membuat cara pandang manusia -khususnya dalam masyarakat Islam- mempengaruhi interpretasi para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran atau pun pemahaman mengenai Hadits. Para feminis telah menemukan sekian banyak riwayat yang sebenarnya shahih, tetapi karena kandungan teksnya mereka rasakan kurang adil, atau karena penafsirannya yang populer selama ini tidak menggambarkan persamaan mutlak, teks tersebut mereka tinggalkan. Bahkan mereka menilai Islam telah melecehkan perempuan melalui teks-teks tersebut.
Persoalan- persoalan yang mereka ambil perhatian sangat banyak sekali namun dalam kesempatan ini kami hanya mengambil masalah yang berhubungan dengan Warisan. Mereka mengkritik penafsiran teks al-Quran yang menyebutkan bagian anak-laki-laki dalam warisan dua kali bagian anak perempuan.
Dalam al-Quran surat an-Nisa’ [4]: 11 disebutkan:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ .....
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”
Ayat di atas berbicara tentang hak “anak” perempuan dan lelaki dalam warisan, bukan hak semua perempuan atau semua lelaki, dan bukan dalam segala persoalan. Hal ini perlu digarisbawahi karena tidak semua ketentuan agama dalam bidang warisan membedakan antara perempuan dan lelaki. Ibu dan ayah apabila meninggal mati oleh anaknya, sedangkan sang anak juga meninggalkan juga anak-anak lelaki atau anak-anak lelaki dan perempuan, ketika itu sang ayah dan ibu masing-masing memperoleh bagian yang sama, yakni seperenam (baca lanjutan ayat di atas)
Pemberian warisan untuk anak lelaki sebanyak dua kali lipat permberian untuk anak perempuan, bukan saja disamping anak lelaki ketika menikah –berkewajiban memberi mahar dan nafkah kepada istri dan keluarganya, melainkan juga karena lelaki-secara-umum- memiliki keistemawaan dalam bidang pengendalian emosi dibandingkan dengan perempuan. Ini menunjukkan bahwa pengendalian harta atas dasar pertimbangan akal harus didahulukan daripada perngendalian atas dasar emosi.
Jika demikian, bagaimana mungkin al-Quran dan sunnah akan mempersamakan bagain mereka? Bahkan –boleh jadi- tidak keliru pendapat yang menyatakan bahwa, jika bicara kepemihakan, sebenarnya al-Quran lebih berpihak kepada anak perempuan daripada anak lelaki. Lelaki membuat istri tetapi dia harus membelanjai. Perempuan pun membutuhkan suami tetapi ia tidak wajib membelanjai, bahkan dia harus dicukupi kebutuhannya. Kalau kita berkata bahwa lelaki harus membelanjai perempuan, bagiannya yang dua kali lebih banyak itu sebenarnya ditetapkan untuk dirinya dan istrinya. Seandainya ia tidak wajib membelanjai, setengah dari yang seharusnya yang ia terima itu dapat mencukupi. Di sisi lain, bagian perempuan yang satu, sebenarnya cukup untuk dirinya –sebagaimana kecukupan satu bagian buat lelaki seandainya tidak menikah. Akan tetapi jika perempuan menikah, keperluan hidupnya ditanggung oelh suaminya sedangkan bagiannya yang satu dia dapat tabung tanpa dia belanjakan. Jika demikian, keperpihakan Allah kepada perempuan lebih berat daripada kepada lelaki.
Anda jangan berkata bahwa perempuan pun dapat bekerja sehingga dia juga bisa ditugasi membayar nafkah dan membelanjai keluarga. Jangan berkata demikian karena tidak sepanjang masa perempuan dapat bekerja. Saat haid, kondisi kejiwaannya berbeda. Saat hamil, melahirkan, dan sesudahnya, di samping lemah, mereka pun berkonsentrasi menyusi dan memlihara anaknya. Di sisi lain, secar psikologis, perempuan enggan dinilai “membelanjakan suaminya”.
Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya “Perempuan”, beliau tidak menerima pendapat sementara pemikir kontemporer yang menduga bahwa ketetapan warisan tersebut bukan ketetapan final, kendati mereka mengakui bahwa ketetapan itu untuk ukuran masa Nabi Muhammad saw lima belas abad yang lalu, sudah sangat maju bila disadari bahwa ketika itu perempuan tidak memiliki hak waris sedikit pun. Namun –masih kata sementara pemikir itu- untuk masa kini, ia perlu ditinjau karena pada hakikatnya al-Quran menghendaki keadilan. Kini zaman telah berubah dan karena ketetapan tersebut bukan ketetapan final, ia dapat saja direvisi dan dikembangkan dengan menetapkan kesamaan bagian anak perempuan dengan anak lelaki dalam persoalan hak waris.
Pendapat yang antara lain dikemukakan leh Nashr Abu Zaid ini sulit diterim karena bukankah Allah telah menetapkan kesempurnaan agama, dalam arti tuntunan-Nya telah final dengan firman-Nya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama kamu. (QS. Al-Ma’idah) [5]: 3). Dan bukankah pula setelah menjelaskan perincian masing-masing ahli waris dinyatakan-Nya bahwa: “Itu adalah batas-batas Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke da;am surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah keberuntungan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketentuan-ketentauan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” (QS. An-Nisa’ [4]: 13-14)?
Di sisi lain, apakah persoalan warisan ini termasuk persoalan yang dapat dicakup oleh ijthad/pemikiran atau berada di luar bidang itu, setelah Allah menyatakan: “Orangtua kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagi kamu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.(QS. An-Nisa [4]: 11)?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar