Minggu, 01 Juli 2012

Memuliakan Tetangga


Kajian Hadits tentang  Memuliakan Tetangga


Defenisi

Kata Al Jaar (tetangga) dalam bahasa Arab berarti orang yang bersebelahan denganmu. Ibnu Mandzur berkata: “الجِوَار , الْمُجَاوَرَة dan الْجَارُ bermakna orang yang bersebelahan. Bentuk pluralnya أَجْوَارٌ , جِيْرَةٌ dan جِيْرَانٌ .”.
Sedang secara istilah syar’i bermakna orang yang bersebelahan secara syar’i baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan kerabat atau bukan.
Batasan tetangga yang mu’tabar adalah empat puluh rumah dari semua arah. Hal ini disampaikan oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha, Az Zuhri dan Al Auzaa’i.



a)      Sepuluh rumah dari semua arah.
b)      Orang yang mendengar adzan adalah tetangga. Hal ini disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Tholib Radhiallahu ‘anhu.
c)      Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja. 
d)   Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.

Yang rajih insya Allah, batasannya kembali kepada adat yang berlaku. Apa yang menurut adat tetangga adalah tetangga. Wallahu A’lam.
Dengan demikian jelaslah tetangga rumah adalah bentuk yang paling jelas dari hakikat tetangga, akan tetapi pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada hal itu saja bahkan lebih luas lagi. Karena dianggap tetangga juga tetangga di pertokoan, pasar, lahan pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya ketetanggaan. Demikian juga teman perjalanan karena mereka saling bertetanggaan baik tempat atau badan dan setiap mereka memiliki kewajiban menunaikan hak tetangganya.
Agama Islam agama fitrah yang memperhatikan hak-hak yang berhubungan dengan asasi seseorang atau masyarakat. Agama yang mengatur hubungan hamba dengan Rabbnya dan hubungan antar hamba dengan keserasian dan keselarasan yang sempurna. Diantara hubungan antar hamba yang diatur dan diperhatikan Islam adalah hubungan bertetangga, karena hubungan bertetangga termasuk hubungan kemasyarakatan yang penting yang dapat menghasilkan rasa saling cinta, kasih sayang dan persaudaraan antar mereka. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sangat memperhatikan hal tersebut sebagaimana dalam hadits dibawah ini.
Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
‏‏"‏ ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه ليورثنه ‏"‏[1]
“Jibril senantiasa berwasiat kepadaku dengan tetangga sehingga aku menyangka tetangga tersebut akan mewarisinya.”

Dalam Shahih Muslim, redaksi hadits tersebut adalah
حدثنا قتيبة بن سعيد، عن مالك بن أنس، ح وحدثنا قتيبة، ومحمد بن رمح، عن الليث بن سعد، ح وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة، حدثنا عبدة، ويزيد بن هارون، كلهم عن يحيى بن سعيد، ح وحدثنا محمد بن المثنى، - واللفظ له - حدثنا عبد الوهاب، - يعني الثقفي - سمعت يحيى بن سعيد، أخبرني أبو بكر، - وهو ابن محمد بن عمرو بن حزم - أن عمرة، حدثته أنها، سمعت عائشة، تقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم [2]
Hadits yang agung ini menunjukkan urgensi dan kedudukan tetangga dalam Islam. Tetangga memiliki kedudukan yang penting dan hak-hak yang harus diperhatikan setiap muslim. Sehingga dengan demikian konsep Islam sebagai rahmat untuk alam semesta dapat direalisasikan dan dirasakan oleh setiap manusia.

Wasiat Islam Terhadap Tetangga 

Islam telah berwasiat untuk memuliakan tetangga dan menjaga hak-haknya, bahkan Allah menyambung hak tetangga dengan ibadah dan tauhidNya serta berbuat bakti kepada kedua orang tua, anak yatim dan kerabat, sebagaimana firmanNya:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (QS. An Nisaa’:36)

Demikian pula hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah menjelaskan kewajiban menjaga hak tetangga dan menjaga kehormatan dan kemuliannya dan perintah menutupi aib mereka, menundukkan pandangan dari harta kehormatannya dan menjauhi hal yang menyakiti dan mengganggunya.
Diantaranya hadits Aisyah dan Ibnu Umar ini. Lihatlah baik-baik bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan: “Sehingga aku menyangka tetangga tersebut akan mewarisinya.
Hal ini menunjukkan wasiat dengan tetangga tersebut meliputi penjagaan, berbuat baik kepadanya, tidak berbuat jahat dan mengganggunya, selalu bertanya tentang keadaannya dan memberikan kemakrufan kepadanya. Ini semua adalah bentuk perhatian dan motivasi syariat dalam menjaga dan menunaikan hak-hak mereka.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menetapkan pelanggaran kehormatan tetangga sebagai salah satu dosa terbesar dalam sabdanya ketika ditanya:
أي الذنبِ عند اللَّه أكبر قال أن تجْعل للّه ندا وهو خلقك قلت ثم أي قال ثم أن تقتل ولدك خشية أن يطعم معك قلت ثم أي قال أن تزاني بحليلة جارك
 “Dosa apa yang terbesar disisi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Menjadikan sekutu tandingan Allah, padahal Allah yang menciptakanmu”. Saya (Ibnu Mas’ud) bertanya: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “Kemudian membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu” lalu saya bertanya lagi: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “Berzina dengan istri tetanggamu.”

Tidak cukup hanya disitu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun memerintahkan Abu Dzar untuk memperbanyak kuah masakannya agar dapat dibagi dan dirasakan tetangga, seperti dalam hadits :
عن أبي ذر، قال إن خليلي صلى الله عليه وسلم أوصاني ‏"‏ إذا طبخت مرقا فأكثر ماءه ثم انظر أهل بيت من جيرانك فأصبهم منها بمعروف ‏"
“Dari Abu Dzar beliau berkata: “Kekasihku shallallahu ‘alaihi wassalam telah berwasiat kepadaku, jika kamu memasak kuah daging maka perbanyak kuahnya kemudian lihat keluarga tetanggamu dan berikanlah sebagian kepada mereka.” [3]

Demikian besarnya hak dan kedudukan tetangga dalam Islam.

Hak-Hak Tetangga 
      Telah jelas bahwa tetangga memiliki hak yang besar dan kedudukan yang tinggi dalam Islam. Hak-hak mereka kalau dirinci akan sangat banyak sekali, akan tetapi semuanya dapat dikembalikan kepada empat hak yaitu:

a. Berbuat Baik Kepada Mereka
Berbuat baik dalam segala sesuatu adalah karektaristik Islam, demikian juga pada tetangga. Imam Al Marwaziy meriwayatkan dari Al Hasan Al Bashriy pernyataan beliau: “Tidak mengganggu bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik terhadap tetangga dengan sabar atas gangguannya.”
Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
عن عبد الله بن عمرو، قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ‏"‏ خير الأصحاب عند الله خيرهم لصاحبه وخير الجيران عند الله خيرهم لجاره ‏"‏ ‏.‏ قال أبو عيسى هذا حديث حسن غريب[4]
Sebaik-baiknya sahabat disisi Allah adalah yang paling baik kepada sahabatnya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik kepada tetangganya.”

Adapun untuk berbuat ihsan kepada tetangga adalah dengan cara:
-          Memuliakannya
Sikap ini menjadi salah satu tanda kesempurnaan iman seorang muslim sebagaimana dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits yang shahih yang berbunyi:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah mengganggu tetatangganya”
Dan dalam lafadz yang lain:
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Maka hendaklah memuliakan tetangganya
-          Ta’ziyah ketika mereka mendapat musibah, mengucapkan selamat ketika mendapat kebahagiaan, menjenguknya ketika sakit, memulai salam dan bermuka manis ketika bertemu dengannya dan membantu membimbingnya kepada hal-hal yang bermanfaat dunia akherat serta memberi mereka hadiyah.
Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam saya memiliki dua tetangga lalu kepada siapa dari keduanya aku memberi hadiyah? Beliau menjawab: “Kepada yang pintunya paling dekat kepadamu.”

b. Sabar Menghadapi Gangguan Tetangga

Ini adalah hak kedua untuk tetangga yang berhubungan erat dengan yang pertama dan menjadi penyempurnanya. Hal ini dilakukan dengan memaafkan kesalahan dan perbuatan jelek mereka, khususnya kesalahan yang tidak disengaja atau sudah dia sesali kejadiannya. Hasan Al Bashriy berkata: “Tidak mengganggu bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik terhadap tetangga dengan sabar atas gangguannya.”
Sebagian ulama berkata: “Kesempurnaan berbuat baik kepada tetangga ada pada empat hal:
a. Senang dan bahagia dengan apa yang dimilikinya
b. Tidak tamak untuk memiliki apa yang dimilikinya
c. Mencegah gangguan darinya
d. Bersabar dari gangguannya

c. Menjaga dan Memelihara Tetangga

Ini merupakan hak ketiga untuk tetangga. Imam Ibnu Abi Jamroh berkata: “Menjaga tetangga termasuk kesempurnaan iman. Orang jahiliyah dahulu sangat menjaga hal ini dan melaksanakan wasiat berbuat baik ini dengan memberikan beraneka ragam kebaikan sesuai kemampuan; seperti hadiyah, salam, muka manis ketika bertemu, membantu memenuhi kebutuhan mereka, menahan sebab-sebab yang mengganggu mereka dengan segala macamnya baik jasmani atau maknawi. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah meniadakan iman dari orang yang selalu mengganggu tetangganya. Ini merupakan ungkapan tegas yang mengisyaratkan besarnya hak tetangga dan mengganggunya termasuk dosa besar.”

d. Tidak mengganggu tetangga
Telah dijelaskan diatas akan kedudukan tetangga yang tinggi dan hak-haknya terjaga dalam islam. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memperingatkan dengan keras upaya mengganggu tetangga, sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wassalam :
لا وَاللَّهِ لا يُؤْمِنُ لا وَاللَّهِ لا يُؤْمِنُ لا وَاللَّهِ لا يُؤْمِنُ قَالُوا وَمَنْ ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَارٌ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak demi Allah tidak beriman, tidak demi Allah tidak beriman, tidak demi Allah tidak beriman mereka bertanya: siapakah itu wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.” ”
Dalam riwayat lain:
لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak masuk syurga orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.”
Demikian juga dalam hadits yang lain beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah mengganggu tetatangganya”.
Demikianlah besarnya hak tetangga yang terkadang kurang kita perhatikan, padahal demikian besar dan pentingnya bagi kehidupan seorang muslim dalam bermasyarakat. Oleh karena itu marilah kita perbaiki kehidupoan kita dengan takwa dan iman sehingga kita dapat mencapai kemulian dan kebahagian didunia dan akherat.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tetangga merupakan orang-orang yang berada di antara kita, yang harus dihormati. Oleh karena itu tetangga mempunyai hak-hak yang harus kita berikan kepadanya. Kita sebagai umat Islam hendaklah menghormati hak-hak tetangga kita sebagaimana mestinya meskipun tetangga kita tersebut non-muslim.
Penghormatan kepada tetangga tersebut memberikan suatu pengertian kepada kita bahwa Islam adalah ajaran pembawa kemaslahatan bagi manusia. Aturan-aturan yang dituntut memang suatu hal yang memang baik baik baikumat manusia.

Daftar Pustaka

-          Abu Daud, Sunan Abi Daud
-          Ibn Majjah, Sunan Ibn Majjah
-          Al-Naisabury, Abi al Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairy, Shahih Muslim. Kairo: Daar Ahya wa al-Kitab al-Arabiyah
-          Al-Tirmizy, Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizy, Beirut-Libanon: Daar al-Fikr
-          Thalib, Muhammad, Terjemah Syarah al-Arbain Hadits al-Nawawi, Yogyakarta, Penerbit: Media Hidayah.
-          Zakaria, A, Materi Da’wah untuk Da’i dan Muballigh, Bandung, Penertbit: Risalah Press. 2005. Cetakan II.
 
Silahkan Download versi lengkap doc file Di sini



[1] - Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Birr wa Al Shilah wa Al Adab, Bab Al Washiyah Bil Jaar  Wal Ihsan Ilaihi, No. 6852, 6853, dan 6854
   - Abu Daud dalam Sunannya, kitab Al Adab, Bab Fi Haqil Jiwaar, No. 5153, 5154
   - Attirmidziy dalam Sunannya, kitab Al Bir Wash Shilah, Bab Ma Ja’a Fi Haqil Jiwaar No. 2068, 2069
   - Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab Al Adab, Bab Haqul Jiwaar No. 3804
[2] Muslim dalam Shahihnya,  No. 6852,
[3] Muslim dalam Shahihnya,  No. 6855, dan 6856
[4] Attirmidziy dalam Jami’nya, No. 2070 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar