Oleh: Fahim Khasani
Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban islam adalah peradaban teks. Ini bukan berate sebuah ‘teks’ dengan sendirinya melahirkan peradaban, namun ia lebih menjurus ke dialektika antara teks dengan realita yang hidup (al-Waqi’ al-Ma’asy). Sebuah dialektika yang mampu merubah tata moral-sosial secara menyeluruh sampai pada aspeknya yang paling dalam. Hanya dalam kurun waktu 2 dekade al-Qur’an mampu merubah moralitas bangsa Arab-jahily. Sebuah masyarakat yang menggunakan hukum rimba sebagai tolak ukur, yang kuat meraja dan yang lemah merana. Sungguh merupakan revolusi sosial yang sangat cepat dan tepat.
Kondisi masyarakat arab era jahily memang sudah melenceng jauh dari sifat manusiawi. saling bunuh merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan terhadap anaknya sendiri. Sejarah merekam ketika seorang ibu melahirkan anak perempuan, tanpa pikir panjang dikubur bayi perempuan tak berdosa itu. Sebab melahirkan anak perempuan dianggap sebagai aib yang sangat memalukan bagi bangsa petarung seperti mereka.
Namun justru dari masyarakat yang amoral itulah Nabi Muhammad saw dilahirkan, al-Qur’an sebagai kitab hidayah diturunkan. Tidak lain untuk mengemban misi membenahi moral manusia (li utammima makarim al-Akhlaq), Sebuah upaya revolusionis atas kondisi moral-sosial yang ada.
Secara umum revolusi al-Qur’an atas bangsa arab bisa dibagi kedalam dua fase. fase pertama terjadi di Makkah dengan kondisi masyarakat yang jahily. Jahily bukan berarti bodoh secara intelektual, tetapi lebih cenderung pada tindakan amoral dan tidak manusiawi yang mereka lakukan. Melalui tuntunan wahyu, Nabi berusaha merombak tradisi buruk yang sudah mendarah daging di masyarakat Makkah kala itu. Dimulai dari kerabat dekat beliau (wa andzir ‘asyirataka al-Aqrabiin) dengan sembunyi-sembunyi. Hingga turun perintah untuk dakwah secara terang-terangan. hal paling fundamental yang di tekankan oleh Nabi Muhammad saw adalah masalah teologi, percaya pada Tuhan yang esa. Tidak lain ini adalah upaya beliau untuk menghapus paganisme yang memang marak ketika itu. Berhala dalam berbagai ukuran di tempatkan di samping ka’bah dan disembah layaknya tuhan yang menciptakan mereka.
Secara gradual al-Qur’an merombak tata social yang ada, satu persatu ayat turun untuk memperbaiki kebobrokan mereka. Mulai dari cara bertuhan, dalam surat Shaad: Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. "Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): ""Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki." QS 5-6. al-Qur’an merekam dialektika yang terjadi ketika itu, sebuah upaya transformasi dari politheisme ke monotheisme, dari tuhan khayaly ke tuhan hakiky. Tentu saja transformasi itu tidak tanpa hambatan. Sebab Makkah adalah pusat kegiatan keagamaan bagi bangsa arab, di sana berkumpul berbagai macam berhala di tempatkan mengelilingi ka’bah. Para pemuka agama lokal berkumpul disana. Secara otomatis mereka akan mengadakan perlawanan terhadap seruan Nabi Muhammad saw.
Imperialisme arab juga tak kalah penting menjadi sorotan al-Qur’an. Kehidupan berkoloni dan saling memerangi demi berebut kuasa dan harta menjadi topik tersendiri dan secara eksplisit dibahas oleh al-Qur’an. Surat al-Humazah QS: 1-9 dan al-Ma’uun menjadi counter atas prilaku hedonis mereka.
Bangsa arab sangat mengagungkan nasab dan bangga dengan itu, hingga tak jarang mengkotak-kotakkan manusia ke dalam berbagai kasta. Namun semua itu di mentahkan oleh al-Qur’an surat al-Hijr QS :13. bahwa semua manusia sama tiada yang membedakan kecuali iman dan takwa kepada Tuhan yang maha pencipta. Semua upaya revolusi yang dilakukan al-Qur’an tak lain adalah untuk mengembalikan manusia ke sifat manusiawinya dan mewujudkan masyarakat yang madani, hidup rukun, damai dan seimbang.
Fase kedua adalah Madinah. kondisi masyarakat Madinah (Yatsrib) sama sekali berbeda dengan Makkah. Madinah bukan pusat kegiatan keagamaan sebagaimana Makkah sehingga tidak terjadi perlawanan yang berarti terhadap seruan dan revolusi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Revolusi al-Qur’an lebih bisa berkembang di Madinah, bahkan bisa dibilang Madinah sebagai fase pengembangan (marhalah al-tathawwur) sedang Makkah adalah fase pembentukan (marhalah al-Ta’sis). Revolusi yang terjadi di Makkah cenderung ke aspek ideologis sedang di Madinah lebih ke aspek sosial.
Revolusi al-Qur’an ini mampu membawa Arab-Islam ke arah yang lebih baik, bahkan mampu membawanya ke puncak keemasan dengan mengamalkan rumusan-rumusan yang terpatri dalam al-Qur’an. Sebuah ungkapan menarik yang dilontarkan Syeikh Muhamad Abduh; Eropa dapat bangkit dan berkembang karena meninggalkan agamanya, sedang umat islam terperosok jatuh di kubangan keterbelakangan lantaran menjauh dari al-Qur’an dan Islam.
Perhatian bangsa arab terhadap sastra turut memuluskan revolusi ini. betapa tidak, ketika ayat al-Qur’an dilantunkan mereka langsung terpukau dengan keindahan bahasanya sekaligus pesan luhur yang dikandungnya. Kisah Umar r.a masuk Islam cukup untuk dijadikan bukti akan hal itu. perwatakannya yang keras dan kaku, seketika langsung lulut dan layu ketika mendengar saudaranya melantunkan ayat ilahi. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada Umar r.a, banyak sahabat yang mengalami hal serupa. Hal tersebut hanya akan terjadi ketika seseorang mengerti dan punya dzauq sastrawi yang tinggi serta mampu merasakan keindahan dan balighnya suatu kalam. al-Qur’an dengan keindahannya mampu menguasai jiwa sahabat, sehingga dengan mudah nilai-nilai yang dibawa dapat dicerna dan diaplikasikan.
Revolusi al-Qur’an telah membawa perubahan yang signifikan bagi bangsa arab. Perubahan yang membawa mereka kepada kebebasan dan menemukan jati dirinya sebagai manusia. Sudah selayaknya revolusi al-Qur’an ini di aktualisasikan di era modern guna membangunkan kesadaran manusia akan eksistensinya.
Manusia modern kini menghadapi tantangan yang berlipat dibanding masa lalu. Perkembangan pengetahuan dan tekhnologi telah memberi banyak perubahan pada pola hidupnya. Tak jarang perubahan itu membawa manusia ke sifat-sifat negatif. Teknologi super canggih yang semakin menghegemoni dewasa ini, agaknya telah sukses membentuk karakter dan mental manusia modern. kehidupan metrealispun mendarah daging dimasyarakat. Keberadaan manusia modern hanya di ukur berdasarkan “to have” (materi yang dimiliki) dan “to do” (sesuatu yang berhasil dilakukan), dalam bahasa sederhana kekayaan dan kedudukan. Mereka mulai abai dengan pribadinya sendiri “to being”. Sehingga Pada tataran ini manusia moderen bisa dibilang telah kehilangan eksistensinya sebagai manusia, manusia seutuhnya. Ini tak ubahnya seperti jahily abad modern. Kebenaran dan kemaslahatan bukan sebagai tujuan namun sebagai kedok untuk memenuhi ambisi pribadi.
Dari sanalah muncul ketidak adilan yang menjadi sebab dari berbagai kekacauan yang melanda umat manusia dewasa ini. Untuk itu diperlukan upaya revolusi untuk mengembalikan manusia ke khittahnya, sekaligus membawanya ke tingkat yang lebih tinggi, insan kamil. Revolusi yang berbasis pada nilai-nilai al-Qur’an demi terciptanya masyarakat yang madani dan bermoral. Wallahu A’lam.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar