Ilmu muhkam dan mutasyabih sebagai perangkat analisis penafsiran al-Qur’an mempunyai banyak variasi tentang makna istilah kedua term ini. Namun, dari berbagai variasi tersebut setidaknya dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu teori isi, teori pengalaman dan teori pemahaman (Sebagaimana keterangan Dr. Hamim Ilyas dalam kuliahnya
pada program studi al-Quran dan Hadis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. )*.
a. Teori Isi
Teori isi berarti memahami muhkan dan mutasyabih merujuk pada isi al-Quran. Dalam teori isi ini ada tiga pendapat yang perlu diketahui, yaitu:
1) Ibnu Abbas
Menurutnya ayat muhkam ialah sepuluh perintah Allah swt yang tertulis dalam Q.S. al-An’am ayat 151-153 yang merupakan sepuluh perintah yang diberikan kepada nabi Musa as. Sedangkan ayat-ayat lainnya adalah ayat Mutasyabih. Adapaun ayat tersebut ialah:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (١٥١)وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (١٥٢)وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). 152. dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. 153. dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.
2) As Sya’bah dan Syamsu Rizal Panggabean
As Sya’bah menarik pengertian dari term mutasyabih dan berpendapat bahwa semua kisah-kisah dalam al-Quran merupakan ayat-ayat mutasyabih. Pendapat ini kemudian deperjelas oleh Syamsu Rizal Panggabean bahwa mutasyabih ialah tujuh kisah yang terdapat dalam surat al-Syu’ara. Yaitu kisah Musa, Ibrahim, Nuh, Hud, Luth, Syu’aib dan Sholeh.
Pada dasarnya, di dalam al-Qur’an harus diketahui bahwa terdapat ayat-ayat yang menggunakan kata yang sama namun dalam konteks yang berbeda. Kata ta’wil selain ditafsirkan sebagai “penggalian makna” juga bisa ditafsirkan dengan “akibat”. Sehingga pada Q.S. Ali Imran: 7 menjelaskan bahwa yang mengetahui akibat dari segala sesuatu adalah hanya Allah swt saja.
Berangkat dari asbabun nuzul Q.S. Ali Imran: 7 yang berkaitan dengan perang uhud di mana pada saat itu umat Islam mengalami kekalahan. Kisah-kisah tersebut oleh orang-orang kafir dijadikan bahan ejekan (senjata untuk mencari-cari akibat yang ditimbulkan jika mereka tidak mengimani Muhammad) atas kemenangannya dari umat Islam, karena ketujuh kisah nabi di atas menceritakan bahwa nabi-nabi tersebut mendapatkan pertolongan Tuhan dan menang dalam menghadapi musuh-musuhnya.
3) Selain pendapat di atas pemahaman seputar muhkam dan mutasyabih di artikan sebagai ayat tentang halal dan haram, umum-khusus sebagaimana yang diungkapkan oleh Ali ibnu Abi Thalhah dan lain-lain
b. Teori Pengalaman
Teori ini mendefinisikan bahwa muhkam ialah ayat-ayat yang tidak di nasakh dan mutasyabih ialah ayat-ayat yang perlu di nasakh.
c. Teori Pemahaman
Teori ini menjelaskan muhkam dan mutasyabih dengan merujuk pada bisa dipahami atau tidak. Beberapa ulama yang memberikan teori ini seperti:
- Malik bin Anas, menurutnya ayat-ayat mutasyabihat tidak bisa dipahami oleh manusia
- Al-Asy’ari, berpendapat bahwa ayat mutasyabihat bisa dipahami oleh yang rasikh ilmunya.
- Al-Ashfahani: memberikan kriteria ayat-ayat mutasyabihat yaitu:
- a) Ayat-ayat yang kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah, waktu kedatangan hari Kiamat dan semacamnya.
- b) Ayat-ayat yang dapat diketahui melalui penelitian yang seksama atau dengan sarana bantu baik dengan ayat-ayat muhkamat, hadits-hadits shahih maupun ilmu pengetahuan seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, atau kesamarannya lahir dari singkatnya redaksi dan atau lafal dan susunannya yang terlihat aneh, serta hukum-hukumnya yang tertutup.
- c) Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh para ulama yang sangat mantap pengetahuannya dengan melakukan penyucian jiwa. Ayat-ayat semacam ini tidak dapat terungkap maknanya hanya dengan menggunakan nalar semata. Sebagaimana diisyaratkan oleh doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karunialah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahkanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar