Minggu, 10 November 2013

Mengenal Hermeneutika Hasan Hanafi

TAWARAN HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI

Metode penafsiran klasik yang hanya bertumpu pada teks bagi Hanafi memiliki kelemahan, diantaranya adalah terdapat kesenjangan antara realitas dan teks.[1] Produk yang dihasilkan dari metode penafsiran klasik dinilai sering tidak mengena dengan kondisi relealitas umat. Kegelelisahan ini menuntun Hanafi mengajukan materi baru yang ia sebut “hermeneutika sosial” atau ‘metode tafsir tematik”. Dengan metode ini, penafsir dapat menginduksi makna realitas ke teks. Karena bagi Hanafi, penafsiran  teks adalah penyesuaian antara kepentingan dengan teks, subjek dengan objek. Makna yang berupa kepentingan, maksud dan keinginan muncul pertama kali, kemudian diperoleh kesuaiannya dalam teks dan dipadukan sebagai penafsiran yang benar.[2]
  • Bangunan Hermeneutika
 
Hanafi membangun sebuah metode Hermeneutika dengan mengusung kolaborasi antara disiplin keilmuan dari khazanah Islam klasik dan tradisi intelekual barat. Yaitu Ushul al-Fiqh, Hermeneutika, fenomenologi, dan Marxisme.
Keterkaitan Ushul al-Fiqh terutama konsep Asbab an-Nuzul, nasikh-mansukh, dan mashlahah sebagai piranti hermeneutika, adalah untuk menunjukkan betapa pentingnya relasi wahyu dan realitas. Asbab an-Nuzul oleh Hanafi dimaksudkan untuk menunjukkan supremasi realitas terhadap wahyu, ia berpendapat bahwa tidak ada ayat atau surat yang tanpa didahului latar belakang pewahyuan. Sekalipun latar belakang ini harus dipahami dalam pengertian yang luas, yang bisa berupa kondisi, peristiwa, atau lingkungan di dalamnya sebuah ayat diturunkan; nasikh-mansukh menunjukkan gradualisme dalam penetapan aturan hukum, eksistensi wahyu dalam waktu, peruahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselaransannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah.[3]
Sementara konsep mashlahah merujuk pada pentingnya tujuan wahyu sebagai peristiwa dalam sejarah. Menurut Hanafi, manusia mampu memahami peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan lahirnya wahyu atau dalam peristiwa di mana wahyu menjadi signifikan dan secara bersamaan disepakati masyarakat (ijma’) sebagai kepentingan bersama (mashlahah).[4]

Dalam kerangka hermeneutik berikutnya, Hanafi menerima pandangan Hans-George Gadamer bahwa setiap pembaca (penafsir), dalam melakukan interpretasi harus berangkat dari asumsi-asumsi awal, horizon, wawasan dan pengaruh-pengaruh intern pada dirinya yang bersumber dari berbagai pengalaman-pengalaman intelektualnya,  tahap ini disebut sebagai prapemahaman dalam proses interpretasi.
Dengan demikian, menurut Hanafi, suatu  pemahaman terhadap teks  tidak dapat mengabaikan historisitas penafsiran. Setiap teks berangkat dari prapemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan penafsir dalam teks. Penafsir adalah kegiatan produktif dan bukan reproduksi makna. Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tetapi juga karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena telah kehilangan konteks ekstensialnya. Dengan kata lain, kalaupun makna awal berhasil ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun penafsiran selalu memiliki nilai historis tersendiri. [5]
Metode yang mempengaruhi pemikiaran Hanafi selanjutnya adalah fenomenologi.[6] Sebuah metode yang sangat berguna untuk mempertajam analisis terhadap realitas, dalam hal ini realitas yang dimaksud Hanafi adalah relitas ekonomi, politik, khazanah Islam, sekaligus realitas tantangan peradaban Barat. Dengan metode ini realitas dunia Islam diharapkan mampu berbicara bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain fenomenologi memberikan sebuah analisis Islam alternatif yang dapat menghindarkan semangat metafisis yang menurut Hanafi tidak relevan untuk menggambarkan realitas manusiawi dan Ilahi.[7]
Dari segi metodologis, pengaruh marxisme begitu kental dalam hermeneutiknya, hal ini bisa dilihat dari pemikirannya yang senantiasa mengaitkan hermeneutika pada “praksis” dalam hubungan antara interpretasi dengan realitas. Dalam Marxisme klasik dikenal filsafat dialektika[8] dan materialisme historis. [9]Dalam upaya untuk menajamkan kritik terhadap realitas dan pengujian teks pada realitas, Hanafi banyak meminjam instrumen Marxisme, khususnya metode dialektika.[10]
Peran marxisme ini pada gilirannya akan menemukan pisau analisis yang tajam tentang masyarakat dan realitas yang menjadi tujuan hermeneutiknya. Dalam pandangan Hanafi, jika metode (Marxisme) ini diterapkan makan akan menemukan kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas, kekuasaan-oposisi, demikian halnya dengan sifat dasar teks. Struktur teks yang bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan hermeneutika progresif dan konservatif. Hermeneutika konservatif beranjak dari teks, mendasarkan diri pada makna literal dan makna otonom, dan aturan yang didasarkan pada realitas yang diandaikan, dan menganggap teks sebagai nilai per se. Sementara hermeneutika progresif menganggap teks sekedar alat, kehidupan nyata (justru) adalah nilai absolut yang perlu diperhatikan
Pengaruh marxisme terhadap pemikiran Hanafi mengantarkan pada suatu unsur-unsur ideologi revolusioner untuk melakukan tafsir ulang terhadap agama. Seperti,  melakukan melakukan pemaknaan ulang terhadap Tauhid. Tauhid dimaknai sebagai rasa tunduk hanya kepada Tuhan, sehingga tunduk terhadap selain kekuasanNya adalah bentuk pengingkaran terhadap Tuhan itu sendiri. Ia menegaskan bahwa; ketika sesorang mengatakan la Ilaha illallah berarti harus melakukan penolakan dan penerimaan sekaligus. Melakukan penolakan terhadap seluruh Tuhan palsu yang ada pada zamannya, menolak setiap keadaan dimana orang-orang justru menyatakan dirinya Tuhan dengan memperalat dan mengkonsterasikan harta kekayaan untuk golongannya sendiri. Dan penerimaan adalah menyetujui bahwasannya harus tidak ada kelas-kelas yang mendominasi dalam struktur masyarakat. [11] Pemaknaan ini untuk mereduksi kesenjangan teori dengan kaitan praksis melalui pemaknaan ulang terhadap agama yang bersifat non-materalistik, sehingga include dengan nilai-nilai islam.

Melalui marxisme, Hanafi mengajak interpreter berangkat dari dan menuju praksis. Ia mengklaim jika hermeneutika semacam ini sejalan dengan fenomenologi, maka dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa), dari tradisi menuju modernisasi. Penggunanaan Marxisme dan fenomenologi ini pada saat yang sama memberikan kemungkinan akan menemukan Ego dan cogito sosio-politik yang baru, afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat dan bangsa.
  •  Klasifikasi Analisis
 
Perjumpaan empat elemen ilmu pengetahuan di atas memperlihatkan bahwa Hermenutika al-Qur’an Hanafi tidak terbatas pada perbincangan mengenai model-model pemahaman tertentu atau teks semata, tetapi juga berkaitan dengan penelusuran sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya. Bahkan sampai pada tahap penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan manusia.
Dengan kata lain, hermeneutika di atas melewati tiga tahap analisis yang berangkat dari kesadaran,[12] yaitu: pertama, “kesadaran historis” yang berfungsi menjamin validitas teks-teks wahyu dalam sejarah; kedua, “kesadaran eiditis” yang berfungsi memahami wahyu dan interpretasinya; dan ketiga,”kesadaran praksis” yang berfungsi merelevansika nilai-nilai aturan hukum dalam (kehidupan) dunia dan memanifestasikan tendensi-tendensi wahyu dalam sejarah. Adapun langkah-langkah sistematis dari ketiga tahap analisis ini dapat dilihat pada “sistematika hermentik”.
  •  Sistematika Hermeneutik
 
Hanafi menyaratkan beberapa langkah sistemik dalam merealisasikan hermeneutikanya yaitu:
Pertama, merumuskan komitmen sosial politik. Bagi Hanafi, seorang penafsir bukanlah orang yang netral, karena ia berada hidup dalam lingkaran peristiwa di suatu negara termasuk berbagai krisis di dalamnya. Oleh sebab itu, ia harus menempatkan diri pada kelompok yang tertindas dan minoritas. Dengan begitu seorang penafsir diharapkan menjadi reformis, aktor soisal, dan revolusioner.[13]
Kedua, mencari sesuatu. seorang mufasir semestinya sudah mempunyai tema tertentu yang ingin ia ketahui sebelum memulai penafsiran. Dengan kata lain, kegiatan interpretasi tidak lain bertujuan untuk mencari sebuah solusi atas suatu masalah.[14]
Ketiga, mensipnosis ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu. Ayat-ayat yang berhubungan dengan tema tertentu tersebut dikumpulkan dengan teliti, dibaca secara simultan, lalu dipahami berulang-ulang sampai orientasi umumnya dapat ditemukan.[15]
Keempat, mengklasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Sebab melalui analisis linguistik orientasi suatu makna dapat diketahui.[16]
Kelima, membangun struktur yang ideal. Setelah orientasi makna didapatkan, penafsir berusaha membangun suatu struktur, berangkat dari makna menuju suatu objek.[17]
Keenam, menganalisis situasi faktual. Yaitu menghubungkan dengan situasi nyata, misalnya situasi negara yang dilanda keterpurukan kekuasaan, kesejahteraan, hak asasi manusia, dan sebagainya.[18]
Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang riil (kondisi realitas).[19]
Kedelapan, mendeskripsikan model-model aksi. Setelah ditemukan adanya kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merpakan langkah paling penting dari proses interpretasi. Dengan demikian penafsir harus mampu mentransformasikan diri dari teks ke aksi.[20]

 CONTOH PENAFSIRAN

Salah satu contoh penafsiran Hanafi ialah konsep Harta dalam al-Qur’an, dengan metode tematiknya ia menafsirkan Mal (harta) di dalam al-Qur’an tidak bermakna uang dalam arti harfiahnya, tetapi dalam arti kekayaan atau kepemilikan secara umum. Dari aspek linguistiknya, kata mal disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 86 kali (termasuk kata-kata yang sepadan).
Kata mal disebutkan al-Qur’an dalam dua bentuk kata benda. Pertama; dalam bentuk tidak disandarkan kepada kata ganti seperti al-mal, malan, al-anwal dan amwalan sebanyak 32 kali. Kedua, berkaitan dengan kata sifat kepnyaan seperti maluhu, maliah, amwalakum, dan amwalahum sebanyak 54 kali, ini menunjukkan bahwa kekayaan dapat saja berada diluar kepemilikan pribadi. [21] Kata ini juga disebutkan dua kali dalam bentuk nominative dan 13 kali dalam accusative, yang menunjukkan bahwa kekayaan lebih merupakan sebab yang menghasilkan. Dengan demikian, ia kemudian hanya menjadi penerima perbuatan manusia dan akibatnya. Kekayaan bukan sebagai subyek dan kata kerja. Dalam bentuk negatif nominative, kata al-mal juga dihubungkan dengan kata sifat kepemilikan. Yaitu dengan orang pertama tunggal (7kali), orang ketiga plural(47 kali), yang menunjukkan bahwa kekayaan merupakan kepemilikan kolektif atas nama kalangan yang tidak punya, kalngan yang haknya dirampas, orang miskin dan anak yatim. Dimana orang pertama tunggal disebut di atas menununjukkan golongan atas, orang kedua merujuk pada golongan menengah, sedangkan golongan bawah.
Kata mal merupakan sebuah fungsi,sebuah titipan, sebuah hubungan dan sebuah investasi. Kekayaan tidak boleh dimonopoli atau ditimbun. Secara etimologi, mal bukan sebuah benda, tetapi kata ganti relatif. Kata mal berhubungan dengan kata sandang (li) yang memiliki arti apa yang ada pada saya. Mal disebut memakai isim nakiroh 17 kali dan isim ma’rifat 15 kali, yang berarti bahwa harta bisa diketahui dan bisa tidak diketahui. Dalam bentk dan kedudukan i’rab mal dikonotasikan dengan tiga makna:
1)      Celaan kepada manusia yang mengikat diri dengan harta, seperti; QS. Al-Fajr :20, al-Humazah: 2, al-Balad: 6, maryam: 71, at-Taubah: 96, al-kahfi; 34, dan saba: 35.
2)      Larangan mendekati apabila mengambil harta orang lain yaitu kaum yang membutuhkan, anak-anak yatim dan manusia umumnya (tidak termasuk orang kaya) seperti dalam QS. Al-An’am; 34, an-nisa’: 10 dan 161 dan at-Taubah: 34.
3)      Memberikan harta kepada pihak-pihak yang membutuhkan, atau jihad fisabilillah seperti dalam QS. Al-baqarah: 177, dan hud: 29, dan lain-lain.
Adapun mengenai isi kandungan kata mal, Hanafi membaginya dalam tiga pokok makna yaitu: 1) Kekayaan, kepemilikan, dan pewarisan berlaku tuhan bukan manusia. 2) kekayaan dipercayakan kepada manusia sebagai titipan. Manusia memiliki hak untuk menggunakan bukan untuk menyalahgunakan, untuk berinvestasi bukan untuk menimbun, untu memanfaatkan bukan untuk diboroskan, untuk pembangunan dan pertahanan. 3) kemandirian moral dari kesadaran manusia vis a vis kekayaan membuat kekayaan menjadi alat yang sederhana untuk kesempurnaan manusia.[22]
 DAFTAR PUSTAKA 

[1] Dalam bukunya manahij al-Tafsir wa masalih al-ummah, Hanafi menejeskan tentang keunggulan dan kelemahan metode-metode penafsiran klasik. Lihat. Hasan Hanafi, Metode Tafsir  dan Kemaslahatan Umat, terj. Yudian Wahydi, Yogyakarta: Nawesea, 2007
[2] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metode tafsir Al-Qur’an menurut Hasan Hanafi, (Jakarta Selatan: Teraju,  2002), hlm. 172
[3] Ibid, hlm. 131
[4] Ibid, hlm. 132
[5] Ibid, hlm. 111

[6] Secara Etimologi Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Phainestai mempunyai arti menunjukkan dan menampakkan dirinya sendiri. Istilah ini telah lama digunakan oleh beberapa filsuf diantaranya adalah Edmurd Husserl. Fenomenologi juga diartikan sinar dan cahaya yang berasal dari kata Fenomenon, dari akar kata ini terbentuk kata kerja yang mempunyai arti nampak, terlihat karena bercahaya, dalam bahasa indonesia disebut gejala. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Fenomenologi mempunyai arti uraian atau percakapan tentang fenomena atau sesuatu yang sedang menampakkan diri. Fenomenologi sebagai metode tidak hanya digunakan dalam filsafat, tetapi juga dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain. Lihat N Driyarkara Sj. Percikan Filsafat, Jakarta: PT. Pembangunan, 1989, hlm. 16-17

[7] A. H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam; Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktualisasi tradisi Keilmuan Islam, Yogyakarta: Ittiqa Pers, 1998. Hlm. 22
[8] Filsafat dialektika lebih tepat dianggap sebagai epistemologi pemikiran Marx, Materalisme Historis adalah filsafat dan teori Marx tentang sejarah. Pokok filsafat dialektika adalah pertama, sejarah selalu dalam perubahan. Kedua, nilai ditentukan oleh hubungan-hubungan sosialnya dengan entitas sosial lain. Ketiga, totalitas dalam pemahaman mengenai realitas. Kelima, historisitas pemahaman tentang masalah yang partikular dalam totalitas hubungan sosial

[9] Materalisme sejarah mengajarkan bahwa pondasi setiap masyarakat adalah proses produksi yang sifatnya material. Proses produsksi tersebut mencakup: pertama, Kekuatan produksi sebagai efesiensi teknikal: skill peralatan, pengetahuan, energi, tanah dan sebagainya. Kedua,hubungan-hubungan sosial berupa hubungan yang mengatur penggunaan kerja dalam produksi. Kekuatan produksi akan terus mengalami perkembangan sementara hubungan-hubungan prodiksi bersifat statis. Proses produksi juga akan melahirkan kelas-kelas sosial. Hubungan antarkelas selalu mengalami ketegangan hingga melahirkan perjuangan kelas. Konflik kelas merupakan sejarah yang terjadi karena perbedaan kekayaan, kekuasaan, status, dan kesempatan.

[10] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan,..hlm103
[11] Hassan Hanafi, al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr, dalam Abad Badruzaman, Kiri Islam... hlm. 115
[12] Hassan Hanafi, Islamologi, Dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih, (yogyakarta: LkiS, 1992), hlm. 108
[13] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 151
[14] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 151
[15] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 151
[16] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[17] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[18] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[19] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[20] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[21] Hasan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1972-1981, vol-7, hlm. 123
[22] Hasan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1972-1981, vol-7, hlm. 121-145 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar