Metode penafsiran klasik yang hanya bertumpu
pada teks bagi Hanafi memiliki kelemahan, diantaranya adalah terdapat
kesenjangan antara realitas dan teks.[1] Produk yang dihasilkan dari metode
penafsiran klasik dinilai sering tidak mengena dengan kondisi relealitas umat.
Kegelelisahan ini menuntun Hanafi mengajukan materi baru yang ia sebut
“hermeneutika sosial” atau ‘metode tafsir tematik”. Dengan metode ini, penafsir
dapat menginduksi makna realitas ke teks. Karena bagi Hanafi, penafsiran teks adalah penyesuaian antara kepentingan
dengan teks, subjek dengan objek. Makna yang berupa kepentingan, maksud dan
keinginan muncul pertama kali, kemudian diperoleh kesuaiannya dalam teks dan
dipadukan sebagai penafsiran yang benar.[2]
CONTOH PENAFSIRAN
- Bangunan Hermeneutika
Hanafi membangun sebuah metode
Hermeneutika dengan mengusung kolaborasi antara disiplin
keilmuan dari khazanah Islam klasik dan tradisi intelekual barat. Yaitu Ushul al-Fiqh, Hermeneutika, fenomenologi, dan Marxisme.
Keterkaitan Ushul al-Fiqh terutama konsep Asbab an-Nuzul, nasikh-mansukh, dan mashlahah
sebagai piranti hermeneutika, adalah untuk menunjukkan betapa pentingnya
relasi wahyu dan realitas. Asbab an-Nuzul
oleh Hanafi dimaksudkan untuk menunjukkan supremasi realitas terhadap wahyu, ia
berpendapat bahwa tidak ada ayat atau surat yang tanpa didahului latar belakang
pewahyuan. Sekalipun latar belakang ini harus dipahami dalam pengertian yang luas, yang bisa berupa kondisi, peristiwa, atau lingkungan di dalamnya
sebuah ayat diturunkan; nasikh-mansukh menunjukkan
gradualisme dalam penetapan aturan hukum, eksistensi wahyu dalam waktu,
peruahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselaransannya dengan
perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah.[3]
Sementara
konsep mashlahah merujuk pada
pentingnya tujuan wahyu sebagai peristiwa dalam sejarah. Menurut Hanafi, manusia mampu memahami
peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan lahirnya wahyu atau dalam peristiwa
di mana wahyu menjadi signifikan dan secara bersamaan disepakati masyarakat (ijma’) sebagai kepentingan bersama (mashlahah).[4]
Dalam kerangka hermeneutik berikutnya,
Hanafi menerima pandangan Hans-George Gadamer bahwa setiap pembaca (penafsir),
dalam melakukan interpretasi harus berangkat dari asumsi-asumsi awal, horizon,
wawasan dan pengaruh-pengaruh intern pada dirinya yang bersumber dari berbagai
pengalaman-pengalaman intelektualnya,
tahap ini disebut sebagai prapemahaman dalam proses interpretasi.
Dengan demikian, menurut Hanafi,
suatu pemahaman terhadap teks tidak dapat mengabaikan historisitas penafsiran.
Setiap teks berangkat dari prapemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan
penafsir dalam teks. Penafsir adalah kegiatan produktif dan bukan reproduksi
makna. Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tetapi juga karena makna
awal tersebut tidak akan relevan lagi karena telah kehilangan konteks
ekstensialnya. Dengan kata lain, kalaupun makna awal berhasil ditemukan, ia
bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan adanya kaitan antara teks
dan realitas, bahwa teks ataupun penafsiran selalu memiliki nilai historis
tersendiri. [5]
Metode yang mempengaruhi pemikiaran
Hanafi selanjutnya adalah fenomenologi.[6] Sebuah metode yang sangat berguna
untuk mempertajam analisis terhadap realitas, dalam hal ini realitas yang
dimaksud Hanafi adalah relitas ekonomi, politik, khazanah Islam, sekaligus
realitas tantangan peradaban Barat. Dengan metode ini realitas dunia Islam
diharapkan mampu berbicara bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain fenomenologi
memberikan sebuah analisis Islam alternatif yang dapat menghindarkan semangat
metafisis yang menurut Hanafi tidak relevan untuk menggambarkan realitas
manusiawi dan Ilahi.[7]
Dari segi metodologis, pengaruh marxisme
begitu kental dalam hermeneutiknya, hal ini bisa dilihat dari pemikirannya yang
senantiasa mengaitkan hermeneutika pada “praksis” dalam hubungan antara
interpretasi dengan realitas. Dalam Marxisme klasik dikenal filsafat dialektika[8]
dan materialisme historis. [9]Dalam upaya untuk menajamkan kritik terhadap
realitas dan pengujian teks pada realitas, Hanafi banyak meminjam instrumen
Marxisme, khususnya metode dialektika.[10]
Peran marxisme ini pada gilirannya akan
menemukan pisau analisis yang tajam tentang masyarakat dan realitas yang
menjadi tujuan hermeneutiknya. Dalam pandangan Hanafi, jika metode (Marxisme)
ini diterapkan makan akan menemukan kesejajaran antara teks dan realitas. Jika
teks memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas,
kekuasaan-oposisi, demikian halnya dengan sifat dasar teks. Struktur teks yang
bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan hermeneutika progresif dan
konservatif. Hermeneutika konservatif beranjak dari teks, mendasarkan diri pada
makna literal dan makna otonom, dan aturan yang didasarkan pada realitas yang
diandaikan, dan menganggap teks sebagai nilai per se. Sementara
hermeneutika progresif menganggap teks sekedar alat, kehidupan nyata (justru)
adalah nilai absolut yang perlu diperhatikan
Pengaruh marxisme terhadap pemikiran
Hanafi mengantarkan pada suatu unsur-unsur ideologi revolusioner untuk
melakukan tafsir ulang terhadap agama. Seperti,
melakukan melakukan pemaknaan ulang terhadap Tauhid. Tauhid dimaknai
sebagai rasa tunduk hanya kepada Tuhan, sehingga tunduk terhadap selain
kekuasanNya adalah bentuk pengingkaran terhadap Tuhan itu sendiri. Ia
menegaskan bahwa; ketika sesorang mengatakan la Ilaha illallah berarti
harus melakukan penolakan dan penerimaan sekaligus. Melakukan penolakan
terhadap seluruh Tuhan palsu yang ada pada zamannya, menolak setiap keadaan
dimana orang-orang justru menyatakan dirinya Tuhan dengan memperalat dan
mengkonsterasikan harta kekayaan untuk golongannya sendiri. Dan penerimaan
adalah menyetujui bahwasannya harus tidak ada kelas-kelas yang mendominasi
dalam struktur masyarakat. [11] Pemaknaan ini untuk mereduksi kesenjangan teori
dengan kaitan praksis melalui pemaknaan ulang terhadap agama yang bersifat
non-materalistik, sehingga include
dengan nilai-nilai islam.
Melalui marxisme, Hanafi mengajak
interpreter berangkat dari dan menuju praksis. Ia mengklaim jika hermeneutika
semacam ini sejalan dengan fenomenologi,
maka dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari sekedar
mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa), dari tradisi
menuju modernisasi. Penggunanaan Marxisme dan fenomenologi ini pada saat yang
sama memberikan kemungkinan akan menemukan Ego dan cogito sosio-politik
yang baru, afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat dan bangsa.
- Klasifikasi Analisis
Perjumpaan
empat elemen ilmu pengetahuan di atas memperlihatkan bahwa Hermenutika
al-Qur’an Hanafi tidak terbatas pada perbincangan mengenai model-model
pemahaman tertentu atau teks semata, tetapi juga berkaitan dengan penelusuran sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya. Bahkan sampai pada
tahap penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan manusia.
Dengan kata
lain, hermeneutika di atas melewati tiga tahap analisis yang berangkat dari
kesadaran,[12] yaitu: pertama, “kesadaran historis” yang berfungsi
menjamin validitas teks-teks wahyu dalam sejarah; kedua, “kesadaran
eiditis” yang berfungsi memahami wahyu dan interpretasinya; dan ketiga,”kesadaran
praksis” yang berfungsi merelevansika nilai-nilai aturan hukum dalam
(kehidupan) dunia dan memanifestasikan tendensi-tendensi wahyu dalam sejarah.
Adapun langkah-langkah sistematis dari ketiga tahap analisis ini dapat dilihat
pada “sistematika hermentik”.
- Sistematika Hermeneutik
Hanafi menyaratkan
beberapa langkah sistemik dalam merealisasikan hermeneutikanya yaitu:
Pertama, merumuskan komitmen sosial politik. Bagi Hanafi, seorang penafsir
bukanlah orang yang netral, karena ia berada hidup dalam lingkaran peristiwa di
suatu negara termasuk berbagai krisis di dalamnya. Oleh sebab itu, ia harus
menempatkan diri pada kelompok yang tertindas dan minoritas. Dengan begitu
seorang penafsir diharapkan menjadi reformis, aktor soisal, dan revolusioner.[13]
Kedua, mencari sesuatu. seorang mufasir semestinya sudah mempunyai tema
tertentu yang ingin ia ketahui sebelum memulai penafsiran. Dengan kata lain,
kegiatan interpretasi tidak lain bertujuan untuk mencari sebuah solusi atas
suatu masalah.[14]
Ketiga, mensipnosis ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan tema tertentu tersebut dikumpulkan dengan
teliti, dibaca secara simultan, lalu dipahami berulang-ulang sampai orientasi
umumnya dapat ditemukan.[15]
Keempat, mengklasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Sebab melalui analisis
linguistik orientasi suatu makna dapat diketahui.[16]
Kelima, membangun struktur yang ideal. Setelah orientasi makna didapatkan,
penafsir berusaha membangun suatu struktur, berangkat dari makna menuju suatu
objek.[17]
Keenam, menganalisis situasi faktual. Yaitu menghubungkan dengan situasi
nyata, misalnya situasi negara yang dilanda keterpurukan kekuasaan,
kesejahteraan, hak asasi manusia, dan sebagainya.[18]
Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang riil (kondisi realitas).[19]
Kedelapan, mendeskripsikan model-model aksi. Setelah ditemukan adanya
kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merpakan
langkah paling penting dari proses interpretasi. Dengan demikian penafsir harus
mampu mentransformasikan diri dari teks ke aksi.[20]
Salah satu
contoh penafsiran Hanafi ialah konsep Harta dalam al-Qur’an, dengan metode
tematiknya ia menafsirkan Mal (harta)
di dalam al-Qur’an tidak bermakna uang dalam arti harfiahnya, tetapi dalam arti kekayaan atau kepemilikan
secara umum. Dari aspek linguistiknya, kata mal
disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 86 kali (termasuk kata-kata yang
sepadan).
Kata mal disebutkan al-Qur’an dalam dua
bentuk kata benda. Pertama; dalam bentuk tidak disandarkan kepada kata ganti
seperti al-mal, malan, al-anwal dan amwalan sebanyak 32 kali. Kedua,
berkaitan dengan kata sifat kepnyaan seperti maluhu, maliah, amwalakum, dan amwalahum sebanyak 54 kali, ini
menunjukkan bahwa kekayaan dapat saja berada diluar kepemilikan pribadi. [21] Kata
ini juga disebutkan dua kali dalam bentuk nominative
dan 13 kali dalam accusative, yang menunjukkan bahwa kekayaan lebih
merupakan sebab yang menghasilkan. Dengan demikian, ia kemudian hanya menjadi
penerima perbuatan manusia dan akibatnya. Kekayaan bukan sebagai subyek dan
kata kerja. Dalam bentuk negatif nominative, kata al-mal juga dihubungkan dengan kata sifat kepemilikan. Yaitu dengan
orang pertama tunggal (7kali), orang ketiga plural(47 kali), yang menunjukkan
bahwa kekayaan merupakan kepemilikan kolektif atas nama kalangan yang tidak
punya, kalngan yang haknya dirampas, orang miskin dan anak yatim. Dimana orang
pertama tunggal disebut di atas menununjukkan golongan atas, orang kedua
merujuk pada golongan menengah, sedangkan golongan bawah.
Kata mal merupakan sebuah fungsi,sebuah
titipan, sebuah hubungan dan sebuah investasi. Kekayaan tidak boleh dimonopoli
atau ditimbun. Secara etimologi, mal bukan
sebuah benda, tetapi kata ganti relatif. Kata mal berhubungan dengan kata sandang (li) yang memiliki arti apa yang ada pada saya. Mal disebut memakai isim
nakiroh 17 kali dan isim ma’rifat 15
kali, yang berarti bahwa harta bisa diketahui dan bisa tidak diketahui. Dalam
bentk dan kedudukan i’rab mal dikonotasikan
dengan tiga makna:
1)
Celaan
kepada manusia yang mengikat diri dengan harta, seperti; QS. Al-Fajr :20,
al-Humazah: 2, al-Balad: 6, maryam: 71, at-Taubah: 96, al-kahfi; 34, dan saba:
35.
2)
Larangan
mendekati apabila mengambil harta orang lain yaitu kaum yang membutuhkan,
anak-anak yatim dan manusia umumnya (tidak termasuk orang kaya) seperti dalam
QS. Al-An’am; 34, an-nisa’: 10 dan 161 dan at-Taubah: 34.
3)
Memberikan
harta kepada pihak-pihak yang membutuhkan, atau jihad fisabilillah seperti
dalam QS. Al-baqarah: 177, dan hud: 29, dan lain-lain.
Adapun mengenai
isi kandungan kata mal, Hanafi
membaginya dalam tiga pokok makna yaitu: 1) Kekayaan, kepemilikan, dan pewarisan
berlaku tuhan bukan manusia. 2) kekayaan dipercayakan kepada manusia sebagai
titipan. Manusia memiliki hak untuk menggunakan bukan untuk menyalahgunakan,
untuk berinvestasi bukan untuk menimbun, untu memanfaatkan bukan untuk
diboroskan, untuk pembangunan dan pertahanan. 3) kemandirian moral dari
kesadaran manusia vis a vis kekayaan
membuat kekayaan menjadi alat yang sederhana untuk kesempurnaan manusia.[22]
DAFTAR PUSTAKA
[1] Dalam bukunya manahij
al-Tafsir wa masalih al-ummah, Hanafi menejeskan tentang keunggulan dan
kelemahan metode-metode penafsiran klasik. Lihat. Hasan Hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, terj. Yudian
Wahydi, Yogyakarta: Nawesea, 2007
[2]
Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika
Pembebasan, Metode tafsir Al-Qur’an menurut Hasan Hanafi, (Jakarta Selatan:
Teraju, 2002), hlm. 172
[3]
Ibid, hlm. 131
[4]
Ibid, hlm. 132
[5] Ibid, hlm. 111
[6] Secara Etimologi Fenomenologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu Phainestai mempunyai arti menunjukkan dan
menampakkan dirinya sendiri. Istilah ini telah lama digunakan oleh beberapa
filsuf diantaranya adalah Edmurd Husserl. Fenomenologi juga diartikan sinar dan
cahaya yang berasal dari kata Fenomenon, dari akar kata ini terbentuk
kata kerja yang mempunyai arti nampak, terlihat karena bercahaya, dalam bahasa
indonesia disebut gejala. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Fenomenologi
mempunyai arti uraian atau percakapan tentang fenomena atau sesuatu yang sedang
menampakkan diri. Fenomenologi sebagai metode tidak hanya digunakan dalam
filsafat, tetapi juga dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain. Lihat N Driyarkara
Sj. Percikan Filsafat, Jakarta: PT. Pembangunan, 1989, hlm. 16-17
[7] A. H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam;
Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktualisasi tradisi Keilmuan Islam, Yogyakarta:
Ittiqa Pers, 1998. Hlm. 22
[8] Filsafat dialektika lebih tepat dianggap sebagai
epistemologi pemikiran Marx, Materalisme Historis adalah filsafat dan teori
Marx tentang sejarah. Pokok filsafat dialektika adalah pertama, sejarah
selalu dalam perubahan. Kedua, nilai ditentukan oleh hubungan-hubungan
sosialnya dengan entitas sosial lain. Ketiga, totalitas dalam pemahaman
mengenai realitas. Kelima, historisitas pemahaman tentang masalah yang
partikular dalam totalitas hubungan sosial
[9] Materalisme sejarah mengajarkan bahwa pondasi
setiap masyarakat adalah proses produksi yang sifatnya material. Proses
produsksi tersebut mencakup: pertama, Kekuatan produksi sebagai
efesiensi teknikal: skill peralatan, pengetahuan, energi, tanah dan sebagainya.
Kedua,hubungan-hubungan sosial berupa hubungan yang mengatur penggunaan
kerja dalam produksi. Kekuatan produksi akan terus mengalami perkembangan
sementara hubungan-hubungan prodiksi bersifat statis. Proses produksi juga akan
melahirkan kelas-kelas sosial. Hubungan antarkelas selalu mengalami
ketegangan hingga melahirkan perjuangan kelas. Konflik kelas merupakan sejarah
yang terjadi karena perbedaan kekayaan, kekuasaan, status, dan kesempatan.
[10] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan,..hlm103
[11]
Hassan Hanafi, al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr, dalam Abad Badruzaman, Kiri
Islam... hlm. 115
[12] Hassan Hanafi, Islamologi, Dari
Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih, (yogyakarta: LkiS, 1992), hlm.
108
[13] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 151
[14] Ibrahim
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 151
[15] Ibrahim
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 151
[16] Ibrahim
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[17] Ibrahim
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[18] Ibrahim
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[19] Ibrahim
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[20] Ibrahim B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Hlm. 152
[21] Hasan
Hanafi, al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1972-1981,
vol-7, hlm. 123
[22] Hasan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1972-1981,
vol-7, hlm. 121-145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar