(Kajian Al-Qur’an Orientalis)
A. PENDAHULUAN
Orisinilitas serta integritas al-Qur’an
merupakan salah satu tema besar yang cenderung diminati oleh Orientalis terhadap
dunia Islam. Kesenjangan antara masa turunnya wahyu yang diberikan kepada
Muhammad dengan masa kodifikasi wahyu menjadi satu kesatuan utuh yang terpaut
cukup lama, memunculkan pemahaman yang problematis. Tidak hanya menyisakan
keraguan tentang lamanya selisih waktu, namun juga adanya masalah internal
Islam yang tentunya mempengaruhi proses kodifikasi tersebut.
Melalui Laporan singkat ini Modarressi
mencoba mencari petunjuk tentang integritas dan otentifikasi al-Qur an dari
perdebatan awal dua sekte besar Islam, Sunni dan Syiah. Perselisihan antara dua
kelompok besar Islam ini mulanya mempermasalahkan tentang kesesuaian jumlah
(ayat dan surah) antara al-Qur’an yang telah diwayahyukan kepada Muhammad
dengan al-Qur’an kodifikasi Khalifah Usman.
“The central
issue in these
debates
was whether the ‘Uthmanic text comprehended the entire body of
material that was revealed to the Prophet, or whether there
had been further material that
was
missing from
the
‘Uthmanic text.”[1]
B. PEMBAHASAN
1 Kodifikasi Al-Qur’an
al-Qur’an maupun hadis menceritakan
bahwa selama hidupnya, khususnya ketika setelah hijrah ke Madinah, Muhammad mengajarkan
kitab suci sebagai wahyu sekaligus pedoman bagi umat Islam. Ia juga menyuruh
para penulis wahyu untuk menambahkan ayat-ayat baru ke dalam teks-teks suci
yang turun sebelumnya.[2]
Al-Qur’an juga menceritakan bahwa terdapat beberapa wahyu yang tidak dimasukkan
dalam kitab suci ini. Hal ini tertulis dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa
ada ayat al-Qur’an yang dihapus (nusikha).[3]
Atau dengan kata lain wahyu tersebut diganti
oleh Tuhan dengan wahyu yang lain.[4]
Orang-orang muslim awal dikabarkan sering mencari-cari beberapa ayat yang tidak
ditemukan dalam catatan wahyu yang baru. Pada akhirnya mereka menyadari bahwa
ayat tersebut dilarang oleh nabi, kemudian menamainya dengan apa yang disebut
dengan sesatu yang “dihapus” (nusikha), “diangkat” (rufi’a), dan
“dibuang” (usqita).[5]
Konsep naskh al-Qur’an ini pada gilirannya akan mengarah suatu asumsi
bahwa terdapat ayat yang tidak dimasukkan oleh nabi ke dalam al-Qur’an.
Kelompok Sunni menyatakan bahwa jumlah
isi al-Qur’an berbeda dari sebelumnya. Hal ini disebabkan al-Qur’an tidak
disusun menjadi satu kesatuan sampai meninggalnya nabi. Proses penulisan wahyu
(kuttab al-wahy) biasanya dicatat langsung saat nabi menerima dan
menceritakannya kepada para sahabat. Diantara mereka ada yang menghafalnya ada
juga yang menuliskannya pada benda-benda atau alat-alat tulis kuno.[6]
Dengan keadaan yang seperti ini, selama
nabi masih hidup, ada semacam harapan adanya wahyu selanjutnya termasuk wahyu
yang mungkin akan me-nasakh wahyu sebelumnya. Alasan lainnya, dengan
masih hidupnya nabi, sahabat tidak merasa memerlukan kitab sebagai referensi keagamaan
atau hukum, mereka dapat mananyakan langsung kepada nabi.[7]
Dua tahun setelah meninggalnya nabi,
umat Islam dihadapkan pada peperangan-peperangan yang menyebabkan banyak para penghafal al-Qur’an
gugur. Hal ini tentu berdampak pada eksistensi al-Qur’an. Oleh kerena itu, Abu
Bakr menyuruh Zayd bin Sabit untuk menuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih
dihafalkan oleh para sahabat. Dengan menyaratkan dua saksi yang menyatakan
bahwa ia benar-benar telah mendengarnya dari nabi. Namun, pada beberapa kasus
juga membolehkan hanya satu orang saksi.
Ayat-ayat tersebut dikumpulkan dan
ditulis pada lembaran-lembaran kertas, tetapi tidak disusun menjadi satu
volume. Kertas-kertas suci tersebut kemudian diserahkan kepada Abu bakr, Umar
dan diturunkan kepada putrinya, Hafsa. Saat Usman menjabat khalifah ia
mengambilnya sebagai rujukan untuk menyusunnya menjadi satu kesatuan. Lalu
diperbanyak dan dikirimkan kebeberapa penjuru negara Islam. Ia juga
memerintahkan untuk membakar al-Qur’an lain yang tidak sesuai.
2Problematika
Kodifikasi
Modarressi menemukan beberapa literatur
sunni yang melaporkan bahwa beberapa pesan wahyu telah hilang sebelum
pengumpulan pada masa Abu Bakr dilakukan.
It is reported,
for example, that
Umar was once
looking for the
text of a
specific verse of
the Qur' an he vaguely remembered. To his deep sorrow,
he discove red that the only
person who had any
record of that verse
had been killed in the
battle of Yamarna and
that the verse
was consequently lost.[8]
Kasus serupa juga terjadi pada masa
pembukuan resmi al-Qur’an yaitu pada pemerintahan Usman.
They reported
that many prominent Companions could not
find in that official text portions
of the reve lation they
had themselves heard
from the Prophet, or found
them in a different form. Ubay
b. Ka’b, for instance, recited the Prophet. It included two verse unrecorded in
the ‘Uthmanic text.[9]
Contohnya sebagaimana pernyataan
Hudhayfa bin al-Yaman, ia telah menemukan setidaknya ada 70 ayat yang hilang
dari teks resmi al-Qur’an, ayat-ayat tersebut ia dengar sendiri (terima) dari
nabi saat masih hidup. Ia juga
menyatakan bahwa:
“sura 9 (al-Barii' a) in its
"Uthmanic form was per haps one-fourth[10] or one-third[11] of what it had
been
during
the
time of the
Prophet”.
Para sahabat, terutama
mereka yang telah beriman sejak nabi tinggal di Makkah, besar kemungkinan masih
mengingat wahyu-wahyu yang tidak dimasukkan ke dalam al-Qur’an. Usman dalam melakukan kodifikasi cenderung
lebih memilih untuk menyeleksi dan mengkombinasikan beberapa elemen wahyu. Oleh
sebab itu, Ali _meskipun termasuk orang yang mempunyai versi kitab suci yang
paling komplit dan autentik_ saat ia menawarkan kepada Usman agar versinya
dijadikan dasar teks resmi, Usman menolaknya. Akhirnya, Ali menarik kembali
manuskripnya, selain itu sahabat lain Abd Allah bin Mas’ud juga melakukan hal
serupa.
3.
Al-Qur’an versi Ibn Mas’ud
Ibn Mas’ud adalah seorang
sahabat nabi yang termasuk mula-mula masuk Islam. Seperti halnya pengikut awal
Muhammad, ia berasal dari masyarakat strata bawah di Makkah. Setelah masuk
Islam, ia mengikuti Muhammad dan menjadi pembantu pribadinya. Ia juga sering
turut serta dalam sejumlah peperangan. Pada masa Pemerintah Umar, ia dikirim ke
Kuffah sebagai qadli dan kepala perbendaharaan negara (bayt al-mal). Namun
pada masa pemerintahan Utsman ia dipecat dari jabatannya dan kembali ke Madinah
serta meninggal di kota ini pada 32 H atau 33H.[12]
Salah sat karakteristik
mushaf Ibn Mas’ud adalah tidak dimasukkannya 3 surat pendek –yaitu surat 1,
113, dan 114- di dalam teksnya. Karakteristik lainnya adalah terletak pada
susunan surat di dalamnya yang berbeda dari mushaf utsmani. Teks mushaf ibn
Mas’ud merupakan salah satu teks yang digunakan landasan Syi’ah dalam
argumentasi mereka.
Kontroversi antara Sunni dan
Syi’ah turut mewarnai isu perubahan al-Qur’an saat proses kegiatan kodifikasi.
Beberapa laporan Sunni menyatakan
bahwa al-Qur’an versi penulisan awal terdapat ayat yang menyebutkan nama Ali
atau menonjolkan posisi Ahlu Bait dimana pada versi Usman, hal ini tidak
ditemukan. Beberapa diantaranya adalah:
a.
Q.S.
Al-Maidah: 67
يَا أَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ...
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia.....”
Sunni maupun syiah sepakat
bahwa ayat ini turun saat Nabi menjalankan haji terakhir ke Mekah tahun 10/632,
yang diyakini ditujukan pada Ali bahwa nabi menunjuk Ali sebagai mawla umat
Islam. Al-Qur’an versi Ibnu Mas’ud berbunyi, “Hai rasul, sampaikanlah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, bahwa Ali adalah mawla orang-orang yang
beriman.[13]
b.
Q.S.
Ali Imran: 33
إِنَّ اللَّهَ
اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh,
keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka
masing-masing),”
Dalam al-Qur’an Ibnu Mas’ud juga menerangkan bahwa itu termasuk juga keluarga Muhammad.[14]
c.
Q.S.
An-Nur: 35
اللَّهُ نُورُ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ
فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
....
“Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu
di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,....”
Ibnu Mas’ud
mempunyai versi yang berbeda yaitu dengan menambahkan keterangan “Cahaya bagi orang-orang
yang percaya (beriman) pada-Nya dan mencintai keluarga Rasul-Nya adalah seperti
sebuah lubang yang tak tembus...” [15]
C. PENTUP
Demikianlah ulasan singkat
tentang kontroversi seputar kodifikasi al-Qur’an, literatur-literatur yang
disebutkan di atas mengindikasikan bahwa pembahasan terkait masalah ini
menunjukkan bahwa problematika
seputar kodifikasi al-Qur’an cukup kompleks.
Kesenjangan
waktu antara turunnya teks dengan kodifikasi teks yang terpaut cukup lama serta
munculnya konflik intern yang menyebabkan terciptanya dua kubu besar aliran
Islam –Sunni dan Syi’ah- menjadi alasan kuat bahwa al-Qur’an versi utsmani
tidak sepenuhnya merekam semua wahyu yang diberikan kepada Muhammad.
[1] Hossein Modarressi,
‘Early Debates on the Integrity of the Qur'ān: A
Brief
Survey’, Studia Islamica, No. 77 (Maisonneuve & Larose, 1993), hlm. 6
[2] Ahmad b. I:Ianbal,
al-Musnad (Cairo, 1313/1895-6), I, p. 57; Tirmidhi, Sunan
(Medina,
1964), IV, pp. 336-37; al-Hakirn al-Naysaburi, al-Musiadrak (Hyderabad,
1340/1922), II, p. 229
[3] QS.
Al-Baqarah: 106
مَا
نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
“ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya”
[4] Q.S. Al-Isra:
101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
“dan apabila Kami letakkan suatu ayat
di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya”
[5] Abu 'Ubayd,
al-Ntisikh
uia'l-mansiikn fi 'l-Qur'tin al-karim, ed. John Burton (Cambridge, 1987),
p. 6; Muhasibi, Fahm al-Qur'iin wa ma'tinih, ed. I:I. Quwwatli (in the collection of al-'Aql wa fahm
al-Qur'dn [n.p., 1971],
pp. 261-502), pp. 399 , 400
dan
408 , 403, 405), 406; Tabarl, Jtimi' al-bayiin, ed. M. M. Shakir (Cairo, 1955), III, pp. 472-74, 476, 479-80;
Ibn
Salama, al-N iisikh wa 'l-mansiikli (Beirut, 1984), p. 21 : Suyuti, al-Durr al-maniluir (Cairo,
1314/1897), V, Itqn,
III, pp. 83-84
[6]
Hossein Modarressi, ‘Early Debates on the Integrity
of the Qur'ān: A
Brief
Survey’, Studia Islamica, hlm. 8
[7]
Bayhaqi, Dala'il, VII, p. 154; Zarkashi, I, pp.235, 262;
Ilqdn, I, p.202; Ahmad al-Naraqi, Maniihij al-ahktim (Tehran, n.d.), p. 152, l. 33
[8] Ibn Abi Dawud, p. 10; Itqan,
I, hlm. 204
[9] Ahmad, v, p. 132; Tirmidhi, v,
p. 370; Hakim, II, p. 224, Itqan, III, p. 83.
[10]
Hakim, II, p. 331;
Haytarnl, Majma' al-zanui'id (Cairo, 1352-53/1933-34), VII, pp. 28-29; Itqann, III, p. 84
[11]
Suyiiti, Durr, III, p. 208
[12]
Amal, Taufik
Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Cipitat: PT Pustaka Alvabet,
2013), p. 188.
[13]
A. Jeffery, in
the collection of Muqaddamaiiin fi 'ultim al-Qur 'an [Cairo, 1954], pp. 32
[14] A. Jeffery, in the collection of Muqaddamaiiin fi 'ultim al-Qur 'an [Cairo, 1954], pp. 97,
186, 306
[15]
A. Jeffery, in
the collection of Muqaddamaiiin fi 'ultim al-Qur 'an [Cairo, 1954], pp. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar